Bab 11 - Panggilan Kesatu

9 2 1
                                    

Nasta duduk dengan serius menghadap ke papan tulis. Kepalanya sedikit berat, mungkin sudah enam minggu sejak menginjakkan kakinya di hari baru kelas sebelas ini, ia bergadang. Terutama saat mendapati beberapa mata pelajaran yang Nasta tahu kalau nilai Nais cukup mengancam. Nasta bisa bolak-balik baca buku dan menggali banyak materi sambil mengerjakan soal-soal yang ada untuk mempertahankan pun mempertajam ingatannya.

Dalam peribahasa yang ada di masyarakat, semakin ditempa, besi bisa semakin tipis dan runcing. Begitupula pisau, semakin diasah maka semakin tajam. Ini berlaku untuk kemampuan otak dalam mengingat, begitu orientasi Nasta tentang belajar, menghafal, dan menjaga hafalannya. Hal yang ditanamkan Jagawana sejak Nasta menginjakkan kaki di sekolah pertamanya. Nasta yang polos hanya bisa mengangguk. Tanpa berpikir, jika manusia juga akan mengalami fase bosan dan kelelahan.

Sore di hari Rabu ini, Nasta tidak terlalu bersemangat. Pasalnya, gagal memberikan yang terbaik di perhelatan akbar kemarin. Meski Rohman dan beberapa atlet lainnya mampu mencatatkan nama baik mereka. Walau begitu, Nasta tetap bersyukur kalau Jagawana tidak marah, ia hanya sedikit diam saat Nasta berusaha mencairkan suasana meja makan. Miswari pun, nyaris tidak ada senyum setiap pagi sebelum Nasta berangkat sekolah. Padahal Nasta tetap memboyong dua medali, emas juga perak, piagam siswa terbaik di bidang non akademik, juga atlet terbaik dan berprestasi di sekolah.

Seragam Merpati Putih sudah melekat di tubuhnya. Nasta melakoni empat belas sprint lapangan tanpa mengindahkan rekan-rekannya yang sudah tumbang satu persatu. Latihan memperkuat telapak kaki hari ini cukup membuat Nasta senang, pasalnya panas mulai melapisi permukaan lapangan, membuat pedih yang mencucuk telapak kakinya semakin meningkat. Membuat Nasta sesekali meringis nikmat.

Pecah belah kulit tumitnya tidak Nasta pedulikan. Nyaris setiap saat beberapa anak menertawakan kakinya yang buruk rupa tak seelok wajahnya. Namun, bagi Nasta, itu salah satu pembuktian jika ia benar-benar melakoni latihannya dengan sungguh-sungguh. Seperti menumpahkan semua emosi dalam setiap langkah.

Syawal mengikuti Nasta berputar keliling lapangan. Pria itu menatap dengan saksama. “Kita latihan terpisah, Mas harus bilang sesuatu padamu!” bisik Syawal membuat Nasta menepi kemudian.

Nasta meluruskan kakinya sambil sedikit digoyang-goyangkan agar tidak varises, ia turut melemaskan otot-otot bahunya mengikuti irama angin sore yang sangat pengap, terik, dan lembab.

“Sudah istirahatnya?” tanya Syawal, tidak ada jawaban lainnya selain Nasta seketika bangkit langsung memasang kuda-kuda tengah sedangnya. “Mas belum mulai,” sindir Syawal.

“Maaf, mungkin aku melamun. Habis hawanya bikin tidak konsentrasi, terlalu panas, Mas!” kata Nasta cengengesan.

“Kamu dengar suara tonggeret yang samar-samar ini tidak, Ta? Katanya ini orkestra peralihan musim, penghujung musim hujan. Pertanda kalau kemarau datang.” Syawal tersenyum saat Nasta tampak menatap langit.

“Ta, kamu bergadang, ya?” tanya Syawal membangunkan Nasta. Remaja laki-laki itu seketika meneguk ludahnya sambil menggeleng. “Tidak perlu kaget, Mas hanya tanya saja!” kikiknya.

“Aku hanya sedikit menambah jam belajar dan menghafal, tidak bergadang. Memang siapa yang mengatakan kalau aku bergadang?” kilah Nasta cari-cari pengalihan.

“Papamu. Dia bilang, jam sebelas kamu masih di meja belajar?” ujar Syawal menyelidik dengan alis bertaut.

“Iya, benar. Tapi, jam dua belas aku langsung tidur,” bisik Nasta.

[TERBIT] A Letter from Nasta ✔ | [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang