Bab 19 - Dari Nasta untuk Luka

17 2 4
                                    

Tak ada yang bisa membuat hati Nasta menjadi lebih tenang selain melakukan menu latihannya —lari dua puluh keliling lapang, pernapasan garuda, latihan pukulan, tendangan dan praktek bertarung dengan Andhra. Nasta berdiri di bawah terik matahari sambil mengasah kemampuan pertahanannya dengan kuda-kuda berat yang menyempurnakan semua gerakan bela dirinya.

Di tepian lapangan Nais memerhatikan, sekaligus membantu Barran yang sedang mempersiapkan diri untuk permainan basket antar kelas sebelas dan dua belas. Barran mencangkok kepala Nais dengan telapak tangannya yang lebar. Beberapa waktu lalu, harus Barran akui kalau ia teramat bodoh menginginkan Nais menjadi cinta bangku SMA-nya yang pertama. Namun, Nais menolaknya, tetapi Barran tidak menjadi malu atau merasa jadi pengecut yang ditolak lalu kabur. Ia malah ingin ada untuk Nais setiap waktunya. Menjadi sahabatnya seperti biasa.

“Melototin Nasta terus, dia ganteng, ya? Atau kamu nolak aku karena Nasta?” Barran menggoda Nais sambil menyenggolkan bahunya ke bahu gadis itu.

“Iya, karena aku tidak ingin perasaan mereka akan berakhir canggung.” Nais melirik Barran. “Bukan karena Nasta seorang, tapi untukmu juga, Ran. Aku tidak ingin anak-anak yang lain akhirnya sungkan hanya karena kita pacaran.” Nais meninggalkan Barran yang tersenyum ceria padanya.

Di saat yang sama, Nasta tak sengaja melihat betapa manisnya sikap Barran. Beberapa waktu ke belakang, mungkin sikapnya pada Nais terlalu kaku dan jahat. Meninggalkan gadis yang begitu perhatian padanya tanpa kata terima kasih. Nasta tak mau terbawa perasaan, ataupun jatuh cinta lebih dalam padanya, sebab masih banyak hal yang lebih penting dari sekadar cinta apalagi hanya cinta monyet belaka. Nasta hanya ingin menepi sejenak … bisakah berjalan tanpa senyum semangat dari Nais. Namun, sampai saat ini Nasta masih mengharapkan Nais selalu di sisinya.

“Nasta!” pekik Syawal saat kaki Andhra mendarat tepat di pelipis remaja laki-laki itu. Jatuh tersungkur Nasta dengan kedua bola mata memandang kosong ke langit.

Anak-anak yang tengah berlatih kontak mendekati Nasta yang berbondong-bondong membantunya bangkit. Nasta duduk dengan mimik wajah linglung, senyuman hampa yang tergambar di wajahnya membuat semua orang makin terkejut.

“Mas, Nasta kayaknya gagar otak!” canda Andhra membuat Nasta cekikikan.

“Maaf, aku hanya sedikit kehilangan fokus. Tapi, otakku masih baik-baik saja, hanya bokongku rasanya cenat-cenut!”

Andhra lekas mengusap kepala Nasta dengan lembut, begitu pula dengan Syawal yang membantu Nasta berjalan hingga ke tepian lapangan guna istirahat dan pendingin pasca terkena serangan Andhra. Syawal melirik Nasta yang terlihat masih menyembulkan senyuman hampa juga sorot mata kosongnya.

“Kamu akhir-akhir seperti kurang fit. Ada yang salah dengan pola latihan baru ini, Ta?” tanya Syawal dengan hati-hati, secara bersamaan pula ia melirik Andhra yang sama-sama memapah Nasta.

“Tidak ada, Mas. Aku malah sangat menikmati jadwal baru ini. Aku jadi makin banyak belajar gerakan baru dan memperbaiki ritme napasku.” Nasta duduk di tepian lapangan sambil meluruskan kaki juga nunggunya, ditemani Andhra dan Syawal yang duduk di kedua sisi kakinya.

“Aku merasa paru-paruku semakin ringan apalagi saat bangun pagi,” kata Nasta melanjutkan pernyataan sebelumnya.

“Kalau merasa berat dengan jadwal baru ini, Mas bisa bilang sama papamu.” Swayal berucap dengan lirih. “Mas malah lebih senang kamu latihan dua kali saja,” imbuhnya menatap sendu.

Jantung Nasta berdegup begitu cepat, desir darahnya mengalir dengan brutal membuat hatinya terasa tercekik. Nasta menunduk sambil mengembuskan napasnya. Senyum hampa di bibirnya kembali melengkung, kini berpadu dengan pandangan mata temaram yang gelap tak sekosong sebelumnya. Nasta menatap Syawal. “Aku merasa tidak enak pada semua anak-anak Merpati Putih, semuanya harus ikut dalam latihan ini karena papaku. Aku tidak keberatan dengan jadwal baru, Mas, tapi kalau Mas tidak keberatan, biarkan teman-teman yang lain latihan seperti biasanya.”

[TERBIT] A Letter from Nasta ✔ | [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang