Bab 18 - Monokrom

11 2 2
                                    

Sayu suara gitar akustik menemani malam Nasta. Remaja laki-laki itu sibuk menulis berbagai narasi untuk ia sampaikan pada kedua orang tuanya. Gemuruh di dalam kepalanya membuat ia tak hentinya menangis dalam diam. Sepi mengeruk semua perasaan pecaya dirinya. Nais bilang semuanya akan baik-baik saja. Nyatanya, tak ada satu pun ada narasinya yang selesai.

Pintu diketuk dengan lembut, Nasta yang terkurung kesedihannya terpaksa bangkit, menyulam senyumnya yang manis. Nasta membuka knop pintu kamarnya. “Eh, Mama, ada apa, Ma?” tanya Nasta dengan senyuman kecil.

“Papa minta kamu ubah jadwal latihan, jadi seminggu empat kali. Mulai besok Nizar juga akan antar jemput kamu setiap hari karena Nizar juga sedang tidak sibuk,” ungkap Miswari.

“Baik, Ma.”

Miswari sedikit menelisik meja belajar Nasta yang terlihat berantakan. Wanita itu hendak melangkah. Sayangnya, Nasta segera menghalangi pintu kamar sedikit ia tarik menutupi pemandangan di balik punggungnya. Nasta tersenyum sambil menunduk rengkuh. “Mama besok akan ke LPK lagi?” tanya Nasta.

“Iya, besok akan ada pelatihan untuk membuat kerajinan tangan berbahan plastik bekas,” jawab Miswari dengan senyuman menukik, menyadari jikalau Nasta mencoba untuk mengalihkan pandangannya. Miswari mendesis kemudian. “Kamu jangan kecewakan Papa, dengan perubahan jadwal begini dan Nizar yang akan menjemput serta mengantarmu setiap hari, jangan membuat kami malu ataupun membuat Nizar terbebani!”

“Iya, Ma!”

“Mama dan Papa hanya butuh kamu fokus dan terus berprestasi. Ingat, kesalahanmu detik ini akan berpengaruh ke masa depanmu. Buah yang busuk bisa membuat satu mangkuk es buah terasa tidak enak. Buah yang belum masak, akan terasa asam dan getir. Jadilah buah yang matang, dimasak apa pun, diolah dengan bahan lainnya pun tetap akan terasa nikmat. Begitulah harusnya jadi manusia.”

Nasta mengangguk dengan lembut.

“Istirahatlah, lalu bereskan meja belajarmu sebelum Papa datang untuk memeriksa kamarmu dan semua tugas sekolah serta PR yang diberikan gurumu!” ucap Miswari sambil mencengkeram bahu Nasta.

“Mama juga, jangan lupa beristirahat. Karena manusia juga punya batas tertentu dalam beraktivitas,” lirih Nasta menatap dengan temaram.

Miswari mengepalkan jemarinya bersamaan dengan ditutupnya pintu kamar Nasta dengan begitu rapat. Sementara itu, di bawah langit Dago, Nais sedang termenung di depan layar gawainya yang menampilkan sebuah potongan video Barran dan anak-anak tim basket bertanding melawan salah satu tim basket terkenal dari Kabupaten Bandung.

Tidak ada yang Nais rindukan untuk saat ini selain bertemu Nasta dan memastikan anak itu tidur nyenyak. Nais menutup layar gawainya, ia beranjak menuju tempat tidur. Niat hatinya ingin menyapa Nasta via Line, sayangnya Nais sadar betul jam segini Nasta pasti sudah tidur. Kalaupun belum, anak itu pasti sedang belajar.

Nais memejamkan kedua kelopak matanya, ia memutar semua ingatan tentang berbagai percakapan dengan Nasta. Pagi itu, Nais mendapati Nasta menunduk di depan cermin wastafel di kantin. Tidak ada bekas luka di tangan atau tubuhnya. Namun, Nais selalu mendapatkan luka baru dari punggung Nasta yang tampak roboh dari waktu ke waktunya.

Berjalan Nais mendekati Nasta sambil menyodorkan sebotol minuman isotonik dingin pada Nasta. “Sepagi ini memang tidak bagus minum minuman dingin. Tapi, minumannya bisa kamu simpan untuk melepas dahaga setelah latihan sore nanti!” ucap Nais dengan senyuman lembut.

“Kenapa kamu seperhatian ini padaku? Terkadang aku jadi bertanya-tanya statusku di matamu,” kata Nasta tersenyum canggung.

“Lebih dari teman.”

[TERBIT] A Letter from Nasta ✔ | [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang