Bab 5 - Bukan tentang Mimpu Buruk

20 3 1
                                    

Malam sinaran membangunkan mimpi berbalut resah. Tidak dibersamai angin lalu, tidak pula dengan gumulan awan kelabu. Hamparan langit hanya hitam tanpa secercah cahaya entah dari bulan, bintang ataupun lampu-lampu rumah di hadapan matanya. Duduk meringkuk di atas bangku kayu, memeluk lututnya yang gemetaran. Kepalan tangan mengetuk-ngetuk ego di balik dada. Rasa nyeri mulai menjalar mencekik seluruh bagian daksanya. Amukan kepalan tangannya semakin hilang arah, kini menghantam-hantam akalnya hingga kunang-kunang beterbangan di antara sadar dan kalapnya. Ia berteriak dalam sunyi, tak ada yang mampu dirinya utarakan pada siapa pun. Rasanya, untuk mengadu pada langit saja, ia tak kuasa.

Tak ada air mata, semua telah sirna sejak bertahun-tahun silam. Kini hanya tersisa keringnya saja. Sebagaimana pun hati dan atmanya hancur, ia tetap tertawa parau dengan tatapan mata berbinar mencari empati. Sayangnya, dunia tak pernah mengamati khas yang timbul dari kata “frustrasi”. Padahal, setiap saat nyaris tidak ada perasaan ingin hidup lebih lama. Ingin bunuh diri saja. Nasta tidak mampu mengatur seluruh gerak tubuhnya, kepalan tangan remaja laki-laki itu terus menghujam toraksnya dengan sesak yang terus mendominasi.

Aku mencoba menyembunyikan rasa sakitku, tetapi tak pernah ada yang menyadari topeng tawaku. Aku berusaha berjuang untuk tidak menjadi gila, tetapi dunia ini memaksaku untuk bertahan di atas seutas tali bernama waras.

Air mata Nasta jatuh menghantam permukaan punggung tangannya. Rasa hangat dengan segera membuatnya terdiam, otaknya seakan mati mendadak. Nasta memandang dua bulir air mata di atas dermis tangannya yang mulai bergerak menjatuhkan diri ke lantai. Remaja laki-laki itu meremas serat kaosnya dengan kuat-kuat.

Kenapa aku menangis? Kenapa aku lemah? Kenapa air mataku jatuh? Apakah aku menyangkal sakit hati ini? Persetan denganku, rupanya aku mulai menyenangi perasaan ini.

Nasta tersenyum manis sambil menatap langit dengan lekat-lekat.

*****

Pagi menyingsing aroma nasi goreng yang gurih berbaur wangi telur orak-arik. Segelas susu diteguk perlahan-lahan oleh Nasta, remaja laki-laki itu memandang pada sang mama yang sedang mengaduk kopi tanpa gula untuk disuguhkan pada Jagawana— papa dari Nasta. Remaja laki-laki itu mengamati sekelilingnya di balik gelasnya yang masih menempel di bibir. Di bawah meja, tangan remaja laki-laki itu mengepal kuat saat sang papa duduk di kursi lekas mengambil piring yang letaknya tak jauh dari wadah nasi.

Senyum Jagawana disambut Nasta yang segera menurunkan gelas dari bibirnya, tampak sisakan sedikit bekas susu putih yang membingkai bagian filtur bibirnya. Jagawana menyapa, “Selamat pagi, Nasta. Apa tidurmu nyenyak?”

“Nyenyak, Papa. Apakah tidur Papa nyenyak?” jawab Nasta menatap dengan binar-binar mata cemerlang. Teduh kedua bola matanya membuat Jagawana mengangguk dengan lembut. “Apakah hari ini Papa akan pergi keluar kota? Kulihat pagi sekali tadi Papa memasukkan koper ke bagasi mobil,” lanjut Nasta dengan senyuman menelisik.

Jagawana menganggukkan kepalanya sederhana. Pria itu menyesap bibir cangkir kopi hitamnya. Matanya melirik pada Miswari, sang istri. “Iya, Nasta nanti diantar Mama, ya? Atau mau diantar sama Kak Nizar? Nanti Papa sampaikan pada anaknya, kan, rute jalan yang kalian tempuh sejalur?” tanya Jagawana dengan tatapan sedikit memicing tajam.

[TERBIT] A Letter from Nasta ✔ | [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang