Bab 17 - Dialog Tanpa Jeda

11 2 2
                                    

Sejak saat itu, setelah hujan merinai di atas kepala Nasta dalam genggaman tangan Nais. Perpustakaan menjadi tempat yang selalu Nasta nantikan. Selain karena hanya tempat itu yang benar-benar membuatnya merasa nyaman, ia juga bisa banyak bertukar perasaan dengan Nais. Nasta menyadari satu hal, bahwa ia masih menolak perasaannya. Rasa takut dipandang lemah oleh orang lain. Terutama Barran, Nugi, dan Saraga. Semua orang tahu, mereka adalah tiga kandidat siswa paling keren dan tangguh di sekolah. Barran dan Saraga dengan tim basketnya, juga Nugi dengan klub pecinta filmnya.

Nasta menyangkal, Nasta tak mau orang-orang memandangnya banci. Iya, Nasta yang selalu patuh di bawah kaki sang Mama. Ia tak bisa sedikit melawan, sama sekali tidak bisa. Bukan hati ingin menjadi durhaka. Namun, Nasta benar-benar tidak bisa meski sekadar minta izin pergi main atau tidak latihan. Sebagai laki-laki ia bahkan tidak pernah ikut tongkrongan cowok-cowok beken di sekolah, dengan dalih Miswari sudah menjemput.

Nasta larut dalam pikirannya yang kacau, meskipun matanya bergulir di hadapan komik yang sedang dipegangnya. Nais memasuki perpustakaan dengan membawa beberapa buku yang langsung ia kembalikan ke rak tempatnya. Nais duduk di sebelah Nasta.

“Aku pikir kamu ada di kumpulan anak-anak math and sains. Ternyata di sini sedang baca komik,” ucap Nais dengan lembut. Terlihat dari ekor mata Nasta di balik komik, gadis itu tengah membuka-buka buku catatan sebesar telapak tangan juga beberapa buku sejenisnya di meja.

Nasta menurunkan komik yang menutupi wajahnya. Remaja laki-laki itu menatap Nais dengan saksama. “Kamu juga tidak di sana?” jawab Nasta dengan entengnya.

“Aku mencarimu, Ta.”

Jantung Nasta berdegup dengan kencang, kedua bola matanya terguncang setelah beberapa saat ia pun menoleh ke lain arah sambil menutupi wajah merah meronanya. Nasta bertanya, “Ada apa memangnya? Perasaan waktu di kelas tadi, kamu seperti tidak ada urusan denganku?”

“Aku hanya ingin memastikan kalau kamu baik-baik saja. Bagaimana tanganmu? Masih disembunyikan di balik kaos lengan panjang? Apakah mama atau papamu benar-benar tidak menyadari itu?”

Nasta menatap dengan lirih, bibirnya gemetar. Ia pun mengerjap pelan sambil menunduk, menutup komik di tangannya lalu ia bawa ke dekat rak. “Aku mungkin egois, tapi aku sadar, bicara dan berkisah pun … dunia meragukan kesedihanku, dunia memandangnya hampa, padahal nyaris semua eksistensi tentang sedih dan luka adalah sakit. Walau kadarnya berbeda.” Nasta menoleh pada Nais dengan kedua bola mata memerah berkaca-kaca.

Nais mendengarkan setiap cerita yang Nasta lantunkan. Sudah hampir dua minggu ini, Nasta dengan setia mengajak Nais menyelami dasar lautan yang gelap yang disembunyikan ombak putih yang tinggi. Nais tidak pernah memotong ucapan Nasta, ia selalu memberikan ruang yang Nasta idamkan, walau remaja laki-laki itu tidak memintanya. Nais merasa cahaya yang Nasta sembunyikan ternyata jauh lebih bersinar.

Walaupun terkadang terbesit dalam benak, bagaimana bisa ada orang sekuat Nasta, Nais sadar jawabannya ada, dan pasti banyak. Gadis itu menyodorkan beberapa lembar HVS pada Nasta. Keduanya sedang asyik bercengkrama di perpustakaan. Dari banyak waktu yang telah Nasta lalui bersama Nais, Nugi, Saraga juga Barran perihal olahraga, flora dan fauna, mimpi juga masa depan, cerita tentang orang tua dan lainnya. Nasta merasa perpustakaan, matematika, dan Nais adalah tempat terbaik untuknya. Seperti muara kecil, sampan kayunya berlayar di sana bersama senyum manis yang tak pernah pudar.

“Pengalaman terbaik dalam hidup kamu apa, Ta?” tanya Nais.

Nasta yang semula mencorat-coret kertas dengan berbagai angka dan rumus-rumus matematika, mendongak kemudian. “Apa, ya? Mungkin saat dulu aku bisa menghabiskan waktu sampai sore untuk bermain di sawah sambil mencari belut dan tutut,” jawab Nasta tersenyum samar.

[TERBIT] A Letter from Nasta ✔ | [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang