Bab 13 - Sudah Waktunya Pergi

18 2 7
                                    

Belajar, bergadang, belajar, mabuk rumus, belajar, darah tinggi, turun naik darah rendah. Begitu rutinitas yang Nasta lalui dan berusaha ia sembunyikan dari sang papa. Nasta terus memisahkan diri dengan mengambil banyak latihan berbeda-beda setiap waktunya. Ia yang bekerja keras bagaikan kerbau bajak sawah, tidak peduli bagaimana perutnya terasa sakit dan ulu hatinya nyeri bagaikan orang ingin muntah.

Nasta hanya tidak suka dengan masalah yang terus datang dalam hidupnya. Di mana ternyata semua teman-teman di kelas adalah orang-orang hebat. Mereka pandai di mata pelajaran tertentu, mereka juga punya pesona yang diam-diam mereka kubur saat Nasta membuka mata yang kemudian mereka ledakkan di udara saat Nasta tutup mata. Nasta benci rasanya dikalahkan diam-diam. Seperti dikhianati oleh eloknya ombak, pada akhirnya Nasta tenggelam dalam perasaan lelah dan muak jadi satu.

Nasta terus berlari memutari lapangan, bahkan ketika latihan belum dimulai dan anak-anak serta para pelatih belum datang, Nasta sudah melakukan sprint sebanyak dua puluh dua kali sambil mengatur napasnya yang mulai keluar jalur. Panas matahari tidak lagi jadi menghalang, meski batu-batu kecil di permukaan lapangan sesekali menusuk telapak kakinya, Nasta tidak indahkan. Isi kepalanya pecah dengan berbagai tuntutan untuk menjadi lebih sempurna dari Nasta yang sempurna.

Nasta berlari semakin cepat hingga rasa sakit menarik otot betisnya dan paha bagian belakangnya menegang. Nasta ambruk dengan posisi tangan terhimpit tubuh juga kepala membentur permukaan lapangan yang kasar. Bau anyir pun tercium, menyeruduk rongga tenggorokannya yang kering.

“Nasta?!” teriak anak-anak Merpati Putih juga Syawal yang baru saja hendak memasuki lapangan, para satpam pun berbondong-bondong menghampiri.

“Nasta!” pekik Syawal segera memboyong tubuh Nasta yang terkulai lemas hampir kehilangan sadarnya.

*****

Satu yang membuat Jagawana merasa ditampar juniornya adalah perkataan sederhana yang terkesan menguliti dermis wajahnya.

“Dok, sepertinya Nasta sering kelelahan dan memaksakan ototnya bekerja keras,”  katanya dengan senyuman singkat.

“Anak saya olahraga dengan teratur. Dia juga mengerti cara menjaga kesehatan otot, organ vital, juga ketahanan tubuhnya. Dia ini atlet!” cecar Jagawana dengan emosian.

Nasta yang berbaring di ranjang yang terasa reyot dan dingin hanya bisa memandang kosong ke arah jendela. Tidur seorang diri di dalam ruangan serba berwarna hijau telur asin dan bau obat bius.  Dalam keadaan tidur tetapi sadar tak sadar, rumah sakit mewah ini terasa seperti jalan menuju neraka zamharir … dingin yang merontokkan sekujur tubuh remaja laki-laki itu.

“Otot bahu dan betis juga pahanya over stretching, suhu tubuhnya juga over heat, Dokter pasti paham kenapa ketika kita kelelahan jantung kita berdebar-debar lebih cepat dari biasanya, karena darah, udara yang memompa berkali lipat lebih cepat, dan panas suhu tubuh kita pun meningkat, kapiler pun bekerja keras di dalam tubuh, menyebabkan beberapa bagian dari dermis kita memerah masak,” papar dokter muda itu menatap dengan canggung.

“Jangan ajari saya soal itu!” bentak Jagawana. “Keluar kamu dari kamar anak saya! Dia butuh istirahat!” perintah Jagawana dengan tatapan mata berang.

“Baik, Dok!” ucapnya santun.

Nasta sebelumnya mendengar kalau dirinya cedera, ia tak bisa melakukan beberapa kegiatan yang memakai otot bahu juga kakinya. Namun, Jagawana keukeuh kalau Nasta baik-baik saja dengan apa yang ia lakukan dengan Merpati Putih. Benar, semua yang ada dalam Merpati Putih menenangkan jiwa Nasta, apalagi jika sudah masuk materi pendinginan dan semua tentang napas. Nasta merasa sangat damai dalam setiap desis napasnya yang keluar lewat celah gigi. Ia juga merasa semua energi buruk dalam dirinya sirna dalam setiap tarikan napasnya lewat kedua lubang hidungnya berganti energi positif yang memenuhi seluruh paru juga toraksnya.

[TERBIT] A Letter from Nasta ✔ | [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang