Nais merasakan tubuhnya begitu segar saat ia diantar sang bunda ke sekolah dengan motor tidak menggunakan mobil seperti biasanya. Memasuki gerbang, Nais mendapati Nasta tengah bercengkrama dengan seorang laki-laki yang begitu gagah mengenakan almamater dari universitas terbeken di Bandung, kampus elit yang dikenal dengan lulusannya arsitektur serta tekniknya yang tak pernah gagal.
Nais berpandangan dengan Nasta saat mahasiswa yang mengantar Nasta itu melengos dari gerbang sekolah. Kedua remaja itu saling menyapa, tersenyum manis bahkan berjalan berjalan masuk gerbang.
“Itu kakakmu, Ta?” tanya Nais dengan binar mata penasaran. Nasta menggelengkan kepalanya. “O … eheh … lupa kalau kamu anak tunggal sepertiku. Maaf, maaf,” kata Nais dengan wajah bersemu merah jambu.
“Tidak apa, kok.”
“Oh, iya, Ta, gimana PR matematika yang ditugaskan sama Bu Idina? Kamu sudah selesai belum?” todong Nais dengan semangat.
“Sudah. Kamu?”
“Sudah, tapi ada satu yang belum aku jawab. Susah soalnya!” jawab Nais dengan santai.
Nasta memandang wajah Nais dari samping, ada perasaan yang membuat detak jantungnya terpacu. Rasa khawatir yang membuat Nasta bersuara dengan lirih. Remaja laki-laki itu bertanya, “Masa?”
“Iya, susah. Aku tidak mengerti saja dengan soalnya. Aku menemukan jawabannya, tetapi Ayah bilang kalau hasil tepat didapatkan dari cara yang salah tidak akan sempurna.” Nais berdecak senang, “Ilmu matematika, kan, pasti, kalau jalannya adalah jawabannya salah juga. Seribu banding satu jika sebuah soal dengan rumus yang salah hasilnya benar.”
Nasta tidak percaya, ia merasa Nais tengah menyembunyikan sebuah benderang yang sebentar lagi akan gadis itu lempar ke arahnya. Nasta merasakan dadanya semakin dipenuhi rasa sakit. Remaja laki-laki itu menatap dalam senyuman Nais.
“Kamu cinta pada matematika karena apa?” tanya Nasta sedikit meninggi, tayapan matanya pun terlihat berkobar emosional.
Nais tersenyum. “Menyukai apa yang dibenci dunia. Aku mencintai apa yang dipandang menyulitkan dan membuat kepala pusing. Percayalah matematika itu menyenangkan,” jelas Nais.
“Lalu … kenapa kamu tidak mengerjakan semua soalnya? Kalau kamu merasa matematika itu menyenangkan?” desak Nasta menatap semakin emosional. Raut wajahnya pun berubah tegang.
“Kalau aku tidak bisa, apakah harus memaksakan diri untuk bisa? Aku tidak membuang waktu untuk itu. Aku mengerjakan soal yang lainnya, dan melewati soal itu, bukan tanpa sebab, aku memang tidak menemukan rumus yang pas, meski dengan rumus yang sama soal yang lain bisa aku kerjakan.”
Nais menyentuh bahu Nasta, remaja laki-laki itu seketika menghindar. “Maaf,” kata Nais dengan lembut.
“Kamu mau membantu aku? Katamu, kamu sudah mengerjakan semua soalnya. Kalau kamu tidak keberatan, boleh aku minta diajari olehmu?”
“Maaf, aku juga bukan orang yang pandai di mata pelajaran matematika. Aku duluan!” tandas Nasta meninggal Nais yang setia tersenyum dengan tatapan lemah lembut.
Dalam hati, Nasta merasa kalau Nais tidak sedang minta diajari, gadis itu tengah menyusun sesuatu yang Nasta terka kalau itu akan menghancurkan hidupnya sebagai juara umum 1 angkatan kelas 10 lalu. Nasta berjalan dengan cepat meninggalkan Nais.
*****
Angin meniupkan anak-anak rambut Nais, gadis itu berdiri di depan jendela kelas Barran, keduanya tidak lagi satu kelas, tetapi masih sering bercengkrama bersama. Nais bersandar ke dinding, di sebelah Barran yang tinggi gagah, Nais yang tidak terlalu tinggi itu tampak seperti kurcaci di sebelah raksasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
[TERBIT] A Letter from Nasta ✔ | [Selesai]
Teen FictionBeberapa bab unpublish untuk kepentingan terbit. Sedang dalam masa PRE-ORDER. Pemesanan bisa kamu akses di Instagram @cv_rexmedia. Pre-order dimulai dari 20 Juni sampai 5 Juli 2024. Salah satu dari 3 Novel Nulis Maraton Rex Publishing 2023 bertema "...