Bab 15 - Kalibrasi Hujan

10 2 4
                                    

Nais mendengarkan keluh kesah Nasta bersama senandung hujan di antara rupawannya senja dan murungnya wajah langit. Nasta tak mampu mengangkat kepalanya, begitu pun Nais, ia masih setia membelai punggung remaja laki-laki itu.

“Kamu boleh menangis, semua rasa sedih adalah anugrah. Menangis bukan tanda kita itu lemah. Hati kita bukan baja, bukan pula karang, hati kita itu kumpulan perasaan yang jika satu di antaranya mengembang, pastilah meledak.”

Nasta mengangkat kepalanya, ia menatap Nais dengan tatapan kecewa. “Kamu tidak merasa jijik ada laki-laki yang menangis di depanmu, Nai?” tanya Nasta dengan lirih.

“Kenapa harus jijik? Aku malah bangga kamu bisa menangis, tandanya kamu manusia, dan aku tidak salah mengagumimu sebagai manusia kuat,” jawab Nais sambil tersenyum.

Nasta memiringkan kepalanya canggung. “Tapi aku nangis, aku menye-menye, aku cengeng banget, Nai!” desis Nasta sembari mengembuskan napas pelan.

“Sekelas langit saja bisa menangis, kenapa kita tidak bisa? Seseorang bilang, menangis itu bukan hanya karena cengeng, atau merasa lemah. Sekelas yang mendapat rezeki nomplok segede gunung saja bisa menangis. Aku percaya seseorang bisa menangis sebab dia punya hati, Ta.”

Nais cekikikan sambil memalingkan wajahnya ke langit. “Barran pun, dia menangis, Ta. Padahal dia bilang singa jantan itu mengaum, pada kenyataannya setiap makhkul yang memiliki hati pasti akan menjumpai perasaan sedih juga menangis,” lirih Nais dengan lemah lembut.

Nasta memeluk Nais dengan lembut. “Terima kasih, Nai. Terima kasih karena kamu telah menjadi orang pertama yang melihat aku menangis dan mau mendengarkan aku,” bisik Nasta.

“Kembali kasih karena Nasta mau percaya padaku, terima kasih karena Nasta mau membagi tangis Nasta padaku sore ini,” Jawab Nais sambil tersenyum lebar.

*****

Aundari mendekap Nais yang memandang jauh ke langit, malam ini jendela anak gadisnya terbuka lebar padahal hujan masih belum benar-benar pergi dari bumi bersama angin malam yang dingin. Aundari menyuguhkan teh pahit dan bandros-kudapan berbahan tepung ketan, santen juga parutan kelapa.

“Terkadang Bunda takut kalau membiarkan Nais berada di satu tempat sendirian,” ujar Aundari memirsa dengan lekat-lekat.

Nais mengangkat alisnya sambil menyuapkan bandros yang masih hangat ke mulutnya sekali hap. “Kenapa, Bun?” tanya Nais dengan suara menggumam.

“Takut orang nyangkanya kamu itu dukun. Habisnya itu mulut kamu komat-kamit tidak karuan.” Aundari mengusap kepala Nais. “Emang sedang menghafal apa lagi sampai setiap waktu komat-kamit gitu?”

“Kata seseorang kalau tidak bicara pada dunia, maka bicaralah pada dirimu sendiri.” Nais tersenyum, ia kembali berujar, “hanya sedang latihan public speaking.”

“Kenapa tidak bicara pada Bunda saja?”

“Emm, tadinya mau sama kaca, tapi malu. Ini latihan sambil membayangkan ada lautan audiensi di sana,” kata Nais tertawa renyah sambil menunjuk ke arah langit yang membentang di atas kepala.

“Emang latihan untuk acara apa?”

“Ya, persiapan saja. Tidak untuk acara-acara tertentu.” Nais meneguk habis teh pahit di cangkir. Untuk beberapa saat ia terdiam, dalam benak, ia memang sedikit malu jika bibirnya komat-kamit tanpa sebab, seperti otaknya terus mengajak berbincang hal-hal random. Namun, kali ini ada alasan lain kenapa Nais demikian. Nais ingin ketika bertemu dan bicara dengan Nasta tak ada lagi canggung, kaku ataupun perasaan malu. Nais ingin Nasta nyaman bicara dengannya setelah sore tadi ia menangis dan berkisah tentang lukanya yang tersembunyi di balik senyuman.

[TERBIT] A Letter from Nasta ✔ | [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang