Bab 8 - Ujian Kenaikan Kelas

10 2 3
                                    

Pagi menyambut Nasta dibersamai segudang nasehat dan perintah dari kedua orang tuanya tentang ujian di hari pertama dan hari-hari berikutnya. Kalau-kalau Nasta tak boleh tersandung masalah apa pun saat ujian, tidak boleh mendapat catatan buruk dari para pengawas, sampai tidak boleh mendapatkan nilai yang jelek atau kurang dari KKM. Nasta hanya manggut-manggut santun, dalam hati ucapan kedua orang tuanya saja sudah beban.

“Aku pergi, ya, Kak Nizar sudah di depan sepertinya!” kata Nasta seraya beranjak dari tempatnya duduk. Remaja laki-laki itu lekas mencium kedua tangan orang tuanya, lalu pamit secepat kilat menuju gerbang. Tampak Nizar sudah di depan sambil melambaikan tangannya

“Pagi, Ta?” sapa Nizar menyodorkan helm pada Nasta.

Nasta tersenyum manis seraya menggoyangkan sedikit alis matanya tatkala ia menerima helm pemberian Nizar tersebut. Nasta menyahut, “Pagi juga, Kak Nizar. Maaf lama, ada sedikit perbincangan spesial dulu.”

“Tidak apa, ayo, berangkat!” ajak Nizar sembari melirik ke arah boncengan.

Keduanya bergegas meninggalkan rumah. Seperti biasanya, sejak diantar ke sekolah tempo hari, Nasta mulai akrab dengan Nizar. Mungkin karena keduanya sama-sama laki-laki, proses adaptasi dengan ngobrol santai sambil basa-basi membuat keduanya jadi cukup dekat.

“Kamu cita-cita mau ambil jurusan apa, Ta? Biasanya SMA dibagi IPA dan IPS, zaman aku lebih banyak yang masuk IPS. Lebih santai,” kata Nizar melirik spion.

Nasta hanya cengengesan, remaja laki-laki itu mengangkat bahunya sambil berdecak pelan. “Tidak tau, masih samar. Tapi, kata kakak kelas aku, anak IPS justru tidak santai,” sanggah Nasta menarik senyuman kecut.

“Iya, sebenarnya semua tidak santai, sih. Cuma anak IPS itu lebih banyak jamkos, lho!” Nizar tidak mau kalah, ia nyengir canggung.

Nasta tertawa renyah. “Kenapa?” tanya remaja itu agaknya heran.

“Iya, zaman aku kalau lagi ngerjain soal atau ngerangkum gurunya jarang di kelas, terus anak-anak bebas main, deh. Pas bel gurunya datang, terus tugasnya dikumpul minggu depan,” ungkap Nizar menarik senyum miring, sedangkan Nasta hanya membulatkan bibirnya mengerti.

“Tapi, tidak semua zaman gitu, sih. Nikmati aja, IPA atau IPS sama, kok. Tidak ada yang lebih bagus atau jelek, pada intinya, hanya orang-orang yang belajar yang sukses, tidak mengenal dia jebolan IPA atau IPS. Label rajin hanya tersemat untuk orang-orang yang memang belajar dengan ulet. Aku anak IPS rajin, temanku anak IPA masuk BK terus,” beber Nizar tersenyum begitu manis, tatap matanya pun bersinar begitu cemerlang.

Perjalanan tak pernah terasa lama, Nasta selalu merasa terlalu singkat rasanya duduk di balik punggung Nizar, dengan segurang ceritanya yang menarik. Nasta mengembuskan napasnya saat ia harus turun dari motor Nizar menuju sekolah.

“Terima kasih tumpangannya!” tandas Nasta sambil tertawa, ia melambaikan tangannya sebelum memasuki gerbang.

Nasta memasuki kawasan kelas, tampak teman-temannya sebagain asyik mengobrol, sebagain tengah menghafalkan catatan, bahkan ada yang terlibat dalam diskusi membuat kunci jawaban. Melihat itu, Nasta hanya tersenyum miring.

Bel pertama berbunyi, Bahasa Indonesia akan mengawali waktu ujian pertama di hari Senin ini. Waktu seratus dua puluh menit menemani anak-anak mengerjakan soal PG lima puluh soal dan esai sebanyak lima soal.

Tak terasa, jam menunjukkan pukul sembilan seperempat, kepala Nasta masih tertunduk pada kertas lembar jawabannya. Sementara itu, anak mulai sibuk mengincar jawaban teman-teman sekelilingnya. Tidak terasa waktu dua jam sejak dimulainya ujian pukul tujuh seperempat hampir selesai. Saat semua orang sibuk dengan rasa panik mereka tentang soal-soal esai yang belum terjawab, Nasta beranjak dari kursinya menuju meja pengawas.

[TERBIT] A Letter from Nasta ✔ | [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang