Tidak seharusnya terlalu berharap dan bergantungan pada seseorang~Inara
Inara sudah berangkat kerja jam enam lewat dua puluh, maklum pertama masuk kerja."Bel, yakin gue ditinggalin sama fotografer," tanya Inara, ia sangat takut jika harus berduaan dengan fotografer yang seperti om om mesum.
"Hmm."
Inara melihat orang yang menjadi fotografer nya, ia sesekali melihat ke arah pintu.
" cantik," bisik fotografer itu, mengelus bahu Inara.
Inara menepis tangan fotografer itu secara kasar, "jaga sikap!"
"Ckk, belagu! Asal lo tau, lo itu di jual sama Bella, dan lo tau siapa yang beli lo?"
"Abian Syahputra! Sebelum dia nyentuh lo, gimana kalau kita...."
Plak!
"Gue bukan cewek murahan!" teriak Inara berlari keluar.
Inara terus berlari, sampai di depan gerbang, ia langsung naik motor yang ia bawa.
Tujuan nya sekarang ke rumah sepupunya, apa maksud sepupunya membeli dirinya!
****
Brak!
Inara menyelonong masuk ke dalam kamar Abian.
"Maksud kak Abian apa? membeli Inara seolah barang."
Abian memegang bahu Inara, "asal lo tau, gue mau nyelamatin lo, teman yang lo anggap baik itu bos dari wanita malam!"
Inara bungkam, "tapi dia punya perusahaan."
"Persetanan, lo nggak tau jelas identitas nya."
Inara menarik tangan Abian, ia memeluk tubuh pria itu, "maaf."
Abian membalas pelukan Inara agak kaku.
"Pengen jalan-jalan, hari ini kan kakak libur," Inara melepaskan pelukannya.
"Dinda ngajak jalan."
Inara tersenyum paksa, padahal sebelum kedatangan Dinda, Abian selalu mau jika dirinya mengajak kemana mana.
"Ya udah deh, Inara ke kamar dulu bye."
"Barang lo?"
Inara menghentikan langkahnya, "kak Abian yang urus."
****
Ceklek
Inara berjalan lesu, ia menjatuhkan tubuhnya di kasur, menatap langit langit kamar, "gue kayak orang nggak tau malu," Inara terkekeh sendiri.
Ia menelungkup, tidak terasa air matanya menetes di bantal guling, rasanya tidak ada semangat hidup dalam diri Inara.
"Tuhan, kuat kan hamba mu ini." Setelah itu Inara menangis sejadinya.
Tidak ada yang bisa mendengar suaranya, kamar kedap suara.
Mata Inara sudah sembab, begini lah jika dirinya sendiri, pasti selalu menangis.
"Akhhhhh, gue benci diri gue, selalu kuat di depan orang," Inara melempar bantal kesembarangan arah, "padahal gue lemah." Lirih Inara.
Kamar seperti kapal pecah, tatapan mata kosong, tidak ada semangat hidup.
"Capek," guman Inara, setelah itu ia tertidur, karena sudah lelah.
****
"Den, barang barang non Inara sudah datang," kata pembantu.
"Bik, tolong bereskan, bawa saja ke kamar nya."
"Baik Den."
Bik Sari menaiki tangga, kamar Inara bersebelahan dengan kamar Abian dilantai atas.
"Non, bibik masuk ya?"
Tidak ada suara, padahal pintu kamar Inara tidak tertutup rapat.
Bik Sari membuka pintu, ia melihat kamar berantakan mengelus dada, "kebiasaan nonton Drakor."
Satu jam bik Sari membereskan barang dan kamar Inara, ia tampak lelah.
****
"Ini berlebihan Abian," cemberut Dinda, ketika dirinya di beli hendphone.
"Terima."
"Kayak nya mau hujan, gimana kalau kita langsung pulang aja," kata Dinda.
Abian tidak membalas ucapan Dinda, ia menarik tangan perempuan itu untuk naik motor.
"Pegangan."
Dinda melingkarkan tangannya di pinggang Abian, momen yang tepat untuk cuaca yang dingin.
Brummm!
Hujan deras mengguyur badan mereka, sepanjang perjalanan tidak ada percakapan diantara mereka berdua sampai di rumah Dinda.
"Makasih, nggak mampir?"
"Di rumah Inara sendirian."
Dinda menggaguk mengerti, ia tidak boleh egois.
Setelah itu motor Abian benar benar menghilang dari pandangan nya.
****
Duarr!
"Bikkkk!" teriak Inara turun dari tangga, ia baru saja selesai mandi ingin makan.
"Non, jangan lari lari...."
Bug! Inara terjatuh, sekuat tenaga Inara menahan rasa sakit di kaki nya.
"Sakit bik, Inara takut," Inara memeluk tubuh bik Sari dengan posisi terduduk di lantai.
"Sekarang bibik sudah ada di dekat non, sini biar bibik urut kaki non."
Inara berselonjor, menunggu bik Sari menggambil minyak urut.
"Tahan ya non," kata bik Sari mengurut kaki Inara.
"Sakittt bikkkk, akhhhhh, udah bik udah," Inara menatap bik Sari.
Bik Sari merasa iba, ia pun menghentikan aktivitas mengurut kaki Inara.
"Lanjutkan bik, nanti tambah sakit kalau di biarkan," sela Abian, ia berjalan menghampiri mereka.
"Den," kaget bik Sari.
"Nggak mau bik," Inara menggeleng kepala tak mau.
"Harus," tegas Abian, ia memeluk tubuh Inara, "urut lagi bik, biar saya yang mengendalikan."
Bik Sari memulai mengurut kaki Inara lagi.
"Ampun bikkkk, kak Abian jahatt! Bangsat," racau Inara di dalam pelukan Abian.
"Biar sembuh."
Sepuluh menit kemudian tangisan Inara kian mereda, kakinya agak mendingan.
"Sekarang ganti baju," perintah Abian, baju Inara basah karena dirinya.
"Sakit," lirih Inara.
Abian mengendong Inara ala bridal style, "bik tolong ganti baju Inara,"
Bik Sari mengiringi langkah Abian.
"Badan kakak panas," kata Inara meletakkan kepalanya di ceruk leher Abian.
"Inara," desis Abian, tubuhnya tidak terkendali jika bersentuhan dengan Inara.
Abian pergi ke kamar nya setelah dari kamar Inara, badannya terasa lemas, seperti nya ia akan demam.
Tinggalkan jejak!
KAMU SEDANG MEMBACA
INARA
Teen FictionTerjebak dalam permainan orang terdekat. Permainan yang terlalu bodoh membuat Penyesalan yang tiada arti. ***** "Akhhhhhh, Abian sialan!" Abian keluar dari kamar mandi dengan wajah tanpa bersalah, menaikan sebelah alisnya bingung. "Lihat," Inara men...