#HijrahSeries
🌼🌼🌼
Tanpa sengaja, Hanum Elora pernah bertemu dengan seorang laki-laki yang telah menjadi alasan dari perubahan terbesar yang ia alami semasa hidupnya. Dia yang tanpa sadar telah menarik Hanum dari zona hitam hanya lewat deretan kal...
Sebelum membaca ini, kalian sudah shalat? Sudah ngaji?
Kalau belum, dikerjakan dulu, ya.
Silakan ambil hal baik sebanyak apapun dari tulisan saya, tapi tolong buang yang buruknya.
Jangan segan untuk menegur saya jika saya keliru dan melampaui batas. Terimakasih:)
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
[15]
Setelah kejadian menguping tanpa disengaja tadi, Hanum langsung berlalu dari aula, menuju taman belakang pesantren yang menyuguhkan pemandangan danau serta pepohonan asri. Tak peduli kalau tadi Nabila ikut mendengar perbincangan Gus Alif dan Ning Alisha, Hanum hanya ingin mengasingkan diri sejenak untuk mengistirahatkan pikirannya.
Semilir angin menyentuh kulitnya dengan lembut. Hanum memejamkan mata dengan punggung bersandar pada pohon beringin di belakangnya. Saat ini, gadis itu tengah duduk di akar yang timbul di sekitaran pohon beringin.
Hanum nyaris terlelap jika saja kehadiran seseorang tidak mengusik ketenangannya.
"Kamu pinter juga ya, ternyata." Hanum menoleh ke arah si pengganggu yang baru saja ikut duduk di sampingnya. "Kamu pinter bikin semua orang berpikir kalau kamu adalah manusia paling beruntung di dunia ini."
"Apa yang orang lain lihat gak selalu sesuai sama kenyataannya. Iya 'kan?" balas Hanum dengan senyuman sinis.
Nabila mengangguk membenarkan.
"Lo ngapain sih, di sini? Mau ngejek gue karena hidup gue ternyata semenyedihkan yang lo dengar tadi?"
"Istighfar woi! Gak baik berprasangka buruk sama orang lain."
Hanum mendecish pelan. "Hati lo 'kan, emang busuk."
Bukannya tersinggung, Nabila malah terkekeh pelan. "Gak ada orang lain yang lebih memahami kita lebih dari diri kita sendiri, iya 'kan?"
Hanum tak memberikan balasan apapun. Dia sibuk memindai pemandangan di sekitarnya, membiarkan Nabila mengatakan apapun yang ingin dia katakan. Jarang-jarang juga mereka bisa mengobrol sesantai ini. Biasanya salah satu abdi Ndalem tersebut selalu mengibarkan bendera permusuhan bila bertemu dengannya.
"Kamu dilamar Gus Alif?" pertanyaan kali ini berhasil membuat Hanum menolehkan kepalanya ke arah Nabila.
"Kenapa? Heran 'kan lo, pasti?"
"Enggak, sih." Nabila mengedigkan bahunya santai. "Kamu tau gak? Kadang, kita harus jadi orang yang gak tau diri untuk membahagiakan diri sendiri. Bahagia juga butuh pengorbanan, salah satunya mengorbankan perasaan gak enakan."
"Kalau aku jadi kamu, hari dimana Gus Alif ngelamar aku, udah aku terima saat itu juga. Apa salahnya mencoba? Kesempatan kayak gitu belum tentu dateng dua kali. Terlepas dari apa aja yang udah pernah aku lakukan di masalalu, aku ngerasa pantas mendapatkan kehidupan yang jauh lebih baik karena aku sudah berusaha untuk itu." Nabila tersenyum miring. "Semua orang yang memperbaiki diri, tentunya untuk memperbaiki hidupnya juga 'kan?"