chapter 18

3K 271 89
                                    

NB : part ini kayaknya part paling pendek. tapi ya gitu deh wkwk. btw, disarankan membaca ini setelah bedug magrib berbunyi, biar puasanya tetap berkah dan kamu tidak becek atau marah-marah :)

~


UTC. 14.00, siang menjelang sore waktu Paris.

"Serius banget liatnya?!" Shani terperanjat mendengar seruan seorang lelaki yang menyapa dengan cara tak santai itu. Cangkir di tangannya pun sempat oleng hingga membuat cairan hitam berkafein itu sedikit meluber dari tempatnya.

"Tolol! Ngagetin aja sih?!" sahut Shani menggerutu seraya mengelap tangannya dari sedikit bercak tumpahan kopi.

Sementara itu, Lelaki dengan eye smilenya itu hanya terkekeh, mengambil tempat di depan sahabat karibnya dengan mata yang langsung mengikuti arah pandang Shani tadi. Di balik dinding kaca caffe klasik yang mereka kunjungi-pemandangan harmonisnya ibu dan anak yang sesekali tertawa dan saling berpelukan, asyik bermain di depan taman pelataran tempat ini.

"Gue ngajak ketemu tapi pas nyampe lo malah keliatan kusut begini. Muka lo seperti orang yang nggak di kasih jatah bercinta setahun sama istri, Shan." tukas lelaki itu yang tak lain adalah Henry.

Sahabat Shani yang masih menempuh pendidikan S3 di Praha itu tadi mengabari kalau dia sedang ada di Paris dan ingin bertemu untuk sekedar melepas rindu. Sayangnya Krisna tak bisa ikut. Si sulung itu masih ada pekerjaan yang harus di selesaikan di perushaan.

"Kebiasaan. Dateng-dateng langsung nuduh." sahut Shani dengan tawa singkatnya.

Tapi benar...

Apa yang di tukaskan oleh Henry barusan sebenarnya cukup beralasan. Suasana hati Shani sebenarnya sedang sedikit terguncang. Ini terjadi karena semalam suntuk ia harus kembali berseteru dengan kecemasan sang istri perihal sesuatu yang membuat Shani kepalang jengah. Mereka sempat cekcok panjang. Masih meributkan hal yang itu-itu saja. Hingga membuat Shani yang tadinya mau, jadi ragu. Dari yang tadinya siap, sekarang malah ada takut-takutnya.

"Sepertinya gue datang di waktu yang kurang tepat..." Henry menghela nafasnya, sejenak punggung lebarnya itu di sandarkan ke kursi sembari tangannya bersendekap di depan dada dengan pandangan lurus menatap Shani yang masih kelihatan kusut, "Tapi yaudah... mumpung gue disini, cerita aja. Siapa tau gue bisa bantu."

Satu kelebihan Henry yang kerap membikin Shani merinding. Lelaki itu memang terkadang kelewat peka sama keadaan.

Raut wajah gamang itu makin menggambarkan sebuah kebingungan seorang Shani. Henry yang memang sudah hafal betul akan tabiat lawan bicaranya itu kini tersenyum getir. Baginya, Shani itu kerap seperti manusia dewasa yang menjadikan riuh di kepalanya seakan tak perlu untuk diberitakan pada manusia lainnya.

"Menurut lo, bagaimana pandangan lo tentang childfree?" Pertanyaan Shani mengundang 2 alis tebal Henry kontan terangkat. Ujung bibirnya terangkat sedikit, membentuk sabit sinis. Terlalu tiba-tiba.

"Ada beberapa alasan masuk akal yang membuat manusia memilih konsep itu. Ada mereka yang memang sejak awal memutuskan ingin nggak punya anak selamanya. Ada yang memutuskan nggak punya anak untuk di masa sekarang-tapi nanti mungkin mereka mau, it's still a possibility. Childfree banyak spektrumnya, Shan. But in the end, semuanya kembali pada prinsip dan jalan hidup mereka masing-masing. Orang yang memilih childfree sekalipun nggak bisa di katakan nggak bahagia hanya karena mereka nggak mau punya anak. Different people's happiness, right?"

"Konsep itu akan berjalan baik kalau ada kesepakatan antara dua belah pihak. Tapi bagaimana kalau itu hanya di miliki oleh satu pihak?" Memangku dagu dengan dua tangan yang saling bertaut diatas meja, Shani kembali melemparkan premisnya.

Stay, and Love Me! (Greshan Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang