I. Lets Divorce!

1.1K 70 2
                                    

"Ayo bercerai"

Halilintar diam.

"Ayo bercerai Halilintar"

Halilintar masih terdiam. Meski suara sekitaran kafe itu bising, namun dikepala Halilintar, suara sunyi. Benar benar sunyi.

"Bercerai?"

"Benar. Kita berdua tahu jika pernikahan ini tidak akan berjalan semulus harapan mereka" Solar menyeruput kopi Americano, "dari pada kita stuck disatu titik, dan.." Solar memberi jeda.

"Tidak bahagia?" Halilintar menerka, menciptakan senyuman kecil diwajah Solar.

Pria itu menoleh kearah jendela disebelahnya, memandang area outdoor kafe. Pemikirannya untuk bercerai memang sudah ada dari awal, tapi apa mungkin bisa?

"Tenang saja. Aku yang akan berbicara kepada mereka" Seperti bisa membaca pikiran 'calon mantan' suaminya, Halilintar kembali menghadapnya dengan alis yang terangkat sebelah. "Kau yakin?"

"Tentu. Lagipula dasar pernikahan juga untuk kepentingan relasi.." Solar memutuskan kontak mata, ia memandangi refleksi dirinya dari kopi yang sudah tinggal setengah.

Tidak begitu lama bagi Halilintar untuk mengangguk. Menyetui ajakan Solar untuk berpisah. Berpikir jika ini yang terbaik.

✧.*

Sudah seminggu berlalu semenjak pembicaraan pertama mereka mengenai perceraian. Mereka kembali ke kafe yang sama, berniat untuk berbincang sebentar sebelum bertemu dengan orang tua mereka besok.

"Besok, kamu harus tegas namun jangan kepancing emosi jika sewaktu waktu ayahmu menentang keras. Tetap tenang"

"Iya iya!" Halilintar menyilangkan tangannya, mendengarkan Solar berbicara tentang apa yang akan mereka lakukan untuk meyakinkan orang tuanya.

"Nanti aku akan berbicara, segala alasan kita harus berpisah, bilang jika kita tidak cocok dan jaminan bahwa relasi antar keluaga tetap akan baik baik saja.."

Halilintar hanya mendengarkan semua penjelasan Solar. Tidak terlalu memperhatikan karena pria itu sibuk dengan dunianya. Ia tidak akan menyangka jika Solar mengajaknya berpisah, dan ia tidak akan terikat lagi seperti dulu.

Ia merasa senang.

Tak terasa Solar sudah selesai berbicara, wanita itu perlu menjentikan jari jemarinya tepat didepan wajah Halilintar agar pria itu sadar. Sedikit kesal karena ternyata sang pria tidak mendengarkannya.

Solar pada akhirnya hanya menjelaskan kesimpulan pembicaraan mereka, dan Halilintar mengangguk paham.

Disaat jam sudah menunjukan pukul tiga lewat seperempat, sore hari. Wanita itu lalu berdiri sembari mencek isi tas Birkin putihnya. Memastikan tidak ada barang yang tertinggal di meja kafe itu. Hendak menuju kampus untuk mengajar.

"Ada kelas?" Halilintar bertanya singkat.

"Begitulah"

Halilintar ikut berdiri. Ia jadi teringat jika ada meeting sore ini.

"Kamu?"

"Meeting"

Solar hanya mengangguk. Mereka berdua setelah membayar pesanan mereka langsung berjalan meninggalkan tempat itu.

Mereka hendak berpisah didepan kafe. Halilintar dan Solar pergi ke kafe tidak bersama, Halilintar yang dari kantor dan Solar yang dari rumah. Masing masing mengendarai mobil mereka. Berjanji bertemu disuatu tempat, dan berpisah ke tujuan masing masing.

Sebelum menuju mobilnya, Solar menoleh, "eum.. Hali"

"Hmn?"

"Jika.. nanti. Setelah kita berpisah. Kuharap kita akan terus berteman"

Netra merah Halilintar membulat. Selama masa pernikahan mereka, mereka lebih menjalin hubungan sebagai teman. Bukan sebagai kekasih. Meski hegitu 'teman' nya ini bukan teman dekat yang bisa dikategorikan sebagai sahabat.

"Dan.."

Halilintar merasakan lengan Solar mengitari pinggangnya. Kepala sang wanita bersandar didada bidang laki laki. Ini ntuk pertama kalinya, mereka berpelukan seperti ini.

"Terimakasih untuk segalanya.." Solar berbisik, namun bisa didengar oleh Halilintar.

Disaat seperti ini, hati Halilintar kebingungan. Ia tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Ragu ragu ia mengusap pelan surai panjang Solar, dan juga mengitari lengannya disekujur tubuh ramping sang wanita.

Mereka setia diposisi itu untuk beberapa saat. Menikmati rasa hangatnya pelukan yang baru pertama kali mereka rasakan. Rasanya.. aneh.

Setelah beberapa saat, Solar melonggarkan pelukan itu. Ada beberapa saat ia setia menunduk dan tidak menatap netra Halilintar. Ia tidak berani menatap mata itu setelah memeluknya tanpa izin.

Selama menjadi 'teman', mereka saling menghargai privasi masing masing dan juga dalam segi kontak fisik. Bahkan meski mereka juga tidur dalam satu ranjang.

Tapi Solar tidak dapat menahannya, ia ingin sekali memeluk pria itu

Melirik kearah jam tangannya, Solar langsung menjauh. "A—aku pergi dulu"

Disaat Halilintar mencoba menahannya. Solar sudah keburu masuk kedalam mobil sedannya. Membuka kaca mobil, dan melambaikan tangannya, senyum manisnya ia pamerkan membuat sang pria membalas lambaian itu.

"See you at dinner!" Ujar Solar, sebelum menginjak gasnya.

Memandangi mobil sedan yang sudah menjauh, pikiran Halilintar terasa goyah. Dari cara Solar mengatakan terimakasih, Halilintar merasa tak enak. Karena wanita itu mengatakan seolah olah Halilintar sudah berjasa untuknya. Sementara Halilintar jarang melakukan apa apa untuknya. Mereka terlalu sibuk dengan urusan masing masing.

Halilintar berjalan kearah mobil, masih terbayang diingatannya bagaimana hangatnya pelukan itu. Tak kan disangka olehnya jika pelukan itu terasa sangat nyaman. Bagaikan warna warna hangat datang kedalam hidupnya yang putih abu.

'Ah! Seharusnya aku yang bilang terimakasih'

𝐉𝐮𝐬𝐪𝐮' 𝐚𝐮 𝐁𝐨𝐮𝐭Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang