"See you at dinner!"
✧.*
Halilintar menatap kearah makam Solar. Wanita itu baru saja ditempatkan keperistirahatan terakhirnya. Rencana mereka untuk bercerai dan menjalani hidup masing masing gagal.
Solar mengalami kecalakan beruntun disaat ia akan pulang kerumah. Sementara Halilintar yang masih dikantor sangat terkejut mendengar kabar itu dari telepon.
Ia tidak akan menyangka jika mereka akan berpisah dengan cara seperti ini. Setelah apa yang telah mereka rencanakan. Dadanya terasa sakit saat mendengar tangisan dari keluarganya, namun saat itu air matanya tidak mau jatuh. Tatapan sayunya tak lepas dari papan nama yang bertuliskan nama istrinya.
"Solar.." pria itu bergumam. "Kau bilang kita akan bercerai secara hukum. Bukan bercerai mati seperti ini.." ia berbisik, sembari menyunggingkan senyum mirisnya mengingat baru saja sehari yang lalu mereka berpisah di kafe itu.
Lambaian itu, senyuman itu..
Adalah hal terakhir yang Halilintar lihat darinya.
✧.*
Halilintar bangun dari tidurnya. Sekarang hari minggu. Pria itu menatap keseliling kamarnya yang agak berantakan. Ini sudah seminggu semenjak Solar meninggal. Orang orang yang datang menemani Halilintar sudah pulang, kembali melanjutkan hidup mereka. Meninggalkan pria itu dengan pikiran kacaunya membuat ia tidak ingin melakukan apapun.
Berpaling kesisi kanan kasurnya yang kosong. Ia mengusap sisi kasur itu dengan pelan, berpikir jika Solar masih ada ia akan terbangun dengan wanita itu disampingnya. Seperti biasa.
Bahkan jika mereka memang jadi berpisah, pria itu masih bisa melihat Solar nantinya.
Dadanya sakit, kepalanya pusing, ia juga merasakan matanya sembab. Ia habis menangis dalam tidurnya. Perasaan berduka benar benar menghiasi hari hari. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya dikamar belakangan ini. Tak ada semangat untuk melangkahkan kaki keluar.
Wanita itu..
Halilintar ingin melihatnya sekali lagi. Ia ingin mendengar suaranya, ia mau menatap netra kelabu itu lagi. Dan jika mungkin, memeluknya.
Rasa hangat yang ia kira mungkin bisa ia alami lagi, ternyata itu yang terakhir.
...Pertama dan terakhir.
Ada beberapa penyesalan didalam hidup Halilintar. Yang pertama, ia tidak mengatakan maaf dan terimakasih kepada Solar. Dan yang kedua, setelah memutar kembali memorinya selama lima tahun itu. Dibanding Solar, Ia lah yang jarang membuka diri kepadanya.
Andai saja waktu itu. Ia menerima pernikahan ini dengan lapang dada, membuka dirinya kepada Solar, sehingga wanita itu tidak mengajaknya bercerai dan.. Solar tidak kecelakaan.
Halilintar menatap kearah balkon kamarnya. Biasanya dihari minggu ini, pagi pagi Solar sudah duduk disana sembari membaca bukunya, disertai pemandangan matahari terbit.
Tapi, kini balkon itu kosong. Tidak ada yang membaca buku disana. Matahari terbit juga tak tampak karena tertutup awan gelap, hendak hujan. Seakan akan semesta ikut bersedih karena kepulangan Solar.
Halilintar turun dari kasur, hendak menuju kamar mandi, membersihkan dirinya. Ia sadar ia tidak bisa begini terus, waktu tetap berjalan, berdiam diri tidak aka pernah menyelesaikan masalah.
Lagipula ini sudah terjadi.
Orang yang mati tak kan bisa hidup lagi.
✧.*
Halilintar menatap kotak berisi barang yang ada pada Solar saat ia kecelakaan. Pihak polisi dan rumah sakit sudah memberikan semua barang itu, namun Halilintar tidak mengusiknya sama sekali.
Membuka isinya, didalam ada stelan pakaian kelabu Solar yang sudah bersih. Meski Halilintar masih bisa melihat bekas darah yang tak kunjung hilang. Pakaian itu dibaluti dengan plastik. Menjaga agar barang barang itu bisa terorganisasi dengan rapi.
Ia mengeluarkan stelan pakaian itu dari plastik. Mengembangkan baju itu. Memperhatikan setiap detail pakaian dan meraba raba bahannya, mengingatkan Halilintar saat kain itu menyentuhnya seminggu yang lalu. Disaat Solar memeluknya.
Halilintar menarik pakaian itu kedekapannya. Memeluk kain tanpa tubuh itu. Samar samar Halilintar masih bisa mencium aroma parfum Solar. Parfum mahal kesukaan Solar itu benar benar masih tahan sampai sekarang.
Isi lain dari kotak itu, ada barang barang penting Solar yang masih selamat. Dompet, sepatu, tas, ponsel yang sudah tak hidup (kayak yang punya), dan perhiasan..
Mengambil kantong berisi perhiasan. Ada anting dan kalung bermainan matahari kesukaan Solar. Dan juga ada cincin.
Cincin pernikahan mereka.
Cincin silver yang mirip dengan punya nya. Namun dibanding miliknya yang polos, punya Solar memiliki permata permata kecil mengitari sebagian cincin.
'Jarinya kecil sekali' Halilintar memutar mutar cincin itu. Menyadari perbedaan ukuran antara jari mereka.
Bahkan dihari hari terakhirnya, Solar selalu memakai cincin itu. Padahal mereka tidak ada kesepakatan untuk selalu memakai cincin itu setiap saat. Kadang Halilintar berpikir jika Solar selalu memakainya karena desain yang bagus.
Tapi sepertinya lebih dari itu...
✧.*
Halilintar melewati ruang kerja Solar. Lirikannya kepada meja yang selalu wanita itu tempati membuat Halilintar memberhentikan langkahnya. Kaki nya malah membawanya masuk kedalam.
Tatanannya masih sama sebagaimana Solar meninggalkannya. Bahkan buku buku dan pena masih tepat berada diatas meja itu. Bagaikan Solar baru saja memakainya dan belum meletakannya kembali ketempatnya masing masing.
Namun, yang menjadi perhatian pria itu adalah sebuah bingkai foto kecil yang ada di meja itu. Bingkai putih dengan ukiran mawar merah ditiap sudut. Isi foto itu adalah foto pernikahan mereka.
Netranya membulat. Ia tidak pernah masuk kedalam ruangan kerja Solar sebelumnya. Jikapun pernah, sama sekali tak terbesit keinginan untuk berdiri dibalik meja kerja ini.
Meja itu tepat menghadap pintu, sementara bingkai foto diletakan membelakangi pintu masuk. Jadi yang bisa melihat hanyalah Solar sendiri. Seakan akan hanya untuk pemandangan pribadi.
Difoto itu, Solar memakai gaun putih yang sangat cantik—Halilintar akui itu. Rambutnya disanggul rendah dengan sebuah tiara yang menghiasi pucuk kepala sang wanita. Dia memegang sebuket bunga sembari menggandeng lengan Halilintar. Senyum manis Solar terukir kecil dan kepalanya sedikit ia miringkan kearah laki laki.
Sang pengantin pria, yang disebelahnya mengenakan tuxedo putih selaras dengan sang wanita. Rambutnya sebagian ia sisir kebelakang agar terlihat lebih formal. Halilintar disana hanya berdiri tegak, lebih terkesan kaku dari pada Solar yang santai. Padahal saat itu fotografernya hendak mengambil foto gaya bebas. Namun sang mempelai malah berdiri diam seperti orang yang tak minat.
Melihat foto itu Halilintar mengernyitkan dahinya. Kenapa Solar memajang foto ini disini? Dirumah mereka tidak ada foto pernikahan sama sekali. Jangankan foto pernikahan, foto mereka saja sama sekali tak ada disana. Halilintar lebih memilih memajang lukisan atau ornamen didinding.
Dan juga, bisa bisanya wanita itu meletakan foto ini disini. Didalam pikiran Halilintar, dirinya didalam foto itu seperti mengacaukan suasana pernikahan—dia sadar. Sangat jelek. Bisa bisanya Solar tahan melihatnya.
Halilintar menghelakan napasnya panjang. Jujur, rasa rindu yang ada dalam dirinya tak pernah pudar semenjak sebulan yang lalu Solar tiada.
Rumah terasa sepi sekali. Padahal dulu Halilintar sudah terbiasa tinggal sendiri saat masih lajang. Ia berpikir sepertinya ia butuh pembiasaan lagi. Bahkan jika itu harus lama.
Teralihkan ke sisi lain. Sisi rak buku. Rak buku dengan tinggi tiga meter itu benar benar penuh dengan buku. Mulai dari buku fiksi dan non fiksi. Semua buku buku itu memiliki cover beraneka ragam. Tapi hanya satu buku yang sedikit menarik perhatian. Sampul itu coklat, terletak paling belakang buku buku itu. Disembunyikan.
Karena penasaran ia mengeluarkan buku buku yang menghalangi dari rak, dan mengambil buku coklat itu. Di sampul depannya, tertulis: Jusqu' au Bout. Ia duduk di kursi kerja Solar. Sepertinya ini adalah buku diary.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐉𝐮𝐬𝐪𝐮' 𝐚𝐮 𝐁𝐨𝐮𝐭
Fanfiction|| HalilintarxFem!Sol || Marriege!AU ______ Halilintar tahu jika pernikahan ini adalah hal yang tidak diinginkan, begitupun Solar. Tapi entah kenapa, disaat salah satunya hilang, rasanya sangat menyakitkan. Genre: fluff, romance, angst ______ [[Se...