k14: Beratnya Sebuah Pilihan

120 35 0
                                    

HAPPY READING
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Di ruang kerja Lesha Butik, Alesha duduk di kursi meja kerjanya yang kokoh dan elegan. Dinding ruangan itu dipenuhi sertifikat penghargaan yang berbingkai rapi serta foto-foto pencapaian butik dari tahun ke tahun.

Suasana ruangan terasa hening, hanya diiringi oleh bunyi ketukan jemari Alesha di atas keyboard laptopnya.

Di samping laptop, sebuah gelas berisi air putih setengah penuh berdiri diam, hampir terlupakan. Alesha sibuk menyusun laporan penting untuk klien besar, pikirannya sepenuhnya tenggelam dalam pekerjaannya.

Namun, ritme itu terhenti saat suara lembut namun tegas dari Dela memecah konsentrasinya. 

"Apa? Terus gimana dengan anak-anak saya, Dela? Gak mungkin saya ninggalin mereka," suara Alesha terdengar penuh kekhawatiran. Ia langsung mengangkat wajah dari laptopnya, menatap Dela dengan ekspresi yang berubah serius.

Dela berdiri tak jauh dari meja, mengenakan blazer hitam sederhana. Wajahnya tenang, tapi ada sedikit keraguan yang sulit disembunyikan. Sebagai staf kepercayaan yang telah bekerja sejak berdirinya Lesha Butik, ia tahu betul bahwa kabar ini akan menjadi beban bagi Alesha.

"Bu Alesha, saya paham ini sulit. Tapi, Bu Alesha diharuskan datang," Dela berkata hati-hati, jelas ia tau kabar ini tak mudah diterima. "Ini menyangkut nama besar Lesha Butik. Pak Eza sendiri bilang, acara ini tidak akan diselenggarakan kalau Bu Alesha tidak hadir." 

Alesha terdiam sejenak, mencoba mencerna informasi itu. Lalu menghembuskan nafas panjang. Tangannya yang tadinya sibuk mengetik kini terhenti, jari-jarinya perlahan memijat keningnya yang mulai terasa berat.

"Berapa lama saya harus di Amerika?" tanyanya akhirnya, nada suaranya lebih tenang, meski pikirannya jelas berkecamuk.

Dela menarik napas sejenak. "Mungkin cukup lama, Bu. Tapi Belum ada kepastian berapa hari pastinya."

"Astaga..." Alesha nyaris terperanjat. Ia refleks meraih gelas air putih di samping laptop, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai bercabang. Wajah kedua anaknya, Raka dan Bian, terlintas di pikirannya. Mereka masih remaja, masih membutuhkan dirinya di saat-saat seperti ini.

"Baiklah," katanya setelah jeda panjang, suaranya terdengar pelan. "Nanti saya coba bicarakan dulu dengan Raka dan Bian. Semoga mereka bisa mengerti."

Dela mengganguk dan tersenyum kecil. "Kalau begitu, saya pamit dulu, Bu." Ucapnya sambil membungkuk sopan sebelum melangkah pergi.

Ketika Dela keluar, Alesha hanya duduk diam. Pandangannya kosong menatap layar laptop yang kini terasa tak berarti.

Alesha hanya memandang pintu yang tertutup setelah Dela pergi. Tatapannya kosong, pikirannya penuh pertimbangan. Ia melirik ke foto kedua anaknya yang terbingkai di meja, senyuman mereka seolah berbicara, “jangan pergi.” Namun, kewajibannya pada Lesha Butik juga tak bisa diabaikan.

"Apakah aku benar-benar sanggup meninggalkan mereka?" gumamnya pelan. 

Sementara itu, di luar ruangan, Dela berhenti sejenak. Ia menarik napas panjang sebelum melanjutkan langkahnya, berharap keputusan ini tidak akan menjadi beban yang terlalu berat bagi Alesha.

***


Next..

Ig: wp_ayayti1
Tt: ayayti

KARAFERNELIA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang