k11: Persimpangan takdir

145 37 0
                                    

HAPPY READING
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Awan yang tadinya gelap kini sudah mulai cerah. Pagi sudah datang, menandai pergantian hari.

Jam menunjukkan pukul tujuh, dan Suara dua motor berdebum, angin yang berhembus pelan, serta burung-burung yang mulai berkicau meramaikan suasana.

Seakan baru saja semalam hari Minggu, kini sudah Senin. Waktu begitu cepat berlalu, bahkan kadang terasa seperti tak terasa.

Seperti itulah rutinitas yang selalu berjalan, kadang membuatnya tak terasa, seperti hari-hari yang begitu cepat berganti tanpa bisa dihindari.

Bryan menghentikan mobilnya tepat di depan pagar sekolah baru Geo. Sekolah itu terlihat sangat besar dan megah.

"Geo, ingat ya, jangan bikin keributan. Ini hari pertama kamu di sekolah baru," ujar Bryan dengan suara serius.

Geo hanya diam seribu kata, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, wajahnya terlihat belum bisa menerima, mungkin belum siap dengan lingkungan dan teman baru.

Geo keluar dari mobil tanpa menoleh ke arah Bryan. Bryan hanya menghela nafas, ia tau betul bagaimana anak laki-laki nya itu, sikap keras kepala, kadang bisa membuat dirinya tidak mau bicara dengan siapapun apalagi menolak kehendaknya.

Sambil menatap punggung Geo yang semakin jauh, Bryan berharap anak laki-laki nya itu bisa hidup lebih mandiri tanpa bergantung pada orang lain, sekalipun itu keluarga nya sendiri.

Merasa Geo sudah tidak menampakkan diri, Bryan menancapkan gas mobilnya.

Sebelum melangkah lebih jauh, Geo menatap sekeliling sekolah itu dengan takjub.

"Lumayan," gumamnya pelan.

Namun, saat hendak melangkah masuk, dua motor ninja berwarna hitam dan biru melintas begitu saja, hampir menabraknya. Geo terpaksa menghindar dengan cepat.

"Woy, punya mata nggak?!" teriak Geo dengan nada kesal.

***

Sebelum Bryan menuju kantornya, matanya tertuju pada para pejalan kaki yang tampak kelaparan—dari anak kecil hingga orang dewasa. Beberapa dari mereka bekerja sebagai pengamen atau penjual koran. Melihat itu, Bryan merasa hati kecilnya dipenuhi rasa iba. Tanpa ragu, ia berinisiatif membeli makanan dalam jumlah banyak untuk dibagikan kepada mereka.

Ia meminta bantuan karyawan restoran untuk membagikan makanan, karena jumlahnya yang sangat banyak—hingga 6 kardus besar.

"Terima kasih, om," ucap seorang anak sambil memegang nasi kotak yang baru diterimanya.

"Makasi, om!" teriak seorang perempuan dewasa yang menerima makanan.

"Yeyyy, akhirnya bisa makan!" seru seorang anak dengan senyum lebar.

"Terima kasih, nak. Semoga hari-harimu selalu bahagia," ujar Bryan dengan senyum lembut sambil menyentuh rambut anak kecil yang terlihat sangat bahagia.

Bryan merasa bersyukur, hidupnya cukup untuk menafkahi keluarganya. Namun, melihat orang-orang yang harus berjuang untuk makan, hatinya terasa pilu. Takdir memang membawa mereka ke jalan yang berbeda, tapi ia merasa beruntung bisa membantu.

Setelah semua orang mendapatkan makanan dan minuman, masih ada satu kardus yang tersisa.

"Makanan sisa satu kardus ini buat kalian, kalau ada yang lewat, boleh dibagikan juga," ucap Bryan kepada karyawan restoran yang membantunya.

"Baik, Pak. Terima kasih banyak," jawab salah satu karyawan dengan rasa syukur.

Pandangan Bryan teralih ke seorang anak kecil berusia sekitar 5 tahun yang duduk di halte bus seorang diri, dengan tatapan kosong yang penuh keheningan. Tanpa pikir panjang, Bryan mengambil satu paket makanan dan minuman, berniat memberikannya pada anak itu.

Namun, langkahnya terhenti sejenak, teringat pada Bian. Ia tersenyum, kemudian menggelengkan kepala, seolah mengusir pikiran yang tiba-tiba muncul itu.

"Nak, ini ada makanan dan minuman buat kamu," kata Bryan sambil berjongkok agar sejajar dengan tinggi anak itu.

Anak itu melirik Bryan dengan tatapan datar, lalu memalingkan wajahnya. Wajahnya tampak sembab, sepertinya baru saja menangis.

Bryan meletakkan makanan dan minuman itu di samping anak tersebut, berharap ia mau mengambilnya.

"Orang tua kamu kemana? Kamu sendiri aja di sini?" tanya Bryan sambil menatap sekeliling, mencari-cari keberadaan orang tua anak itu.

Tidak ada respons, dan tiba-tiba anak itu mulai menangis. Bryan merasa bingung, tak tahu harus berbuat apa.

Dengan perlahan, Bryan duduk di samping anak itu dan memeluknya, berusaha memberi rasa aman yang anak itu butuhkan.

***


Min/9/4/2023

Next..

Ig: wp_ayayti1
Tt: ayayti

KARAFERNELIA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang