Happy reading
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.“Gak, aku gak mau pindah sekolah!” tolak Geo sambil duduk di kasur, kedua tangannya terlipat di dada, dan wajahnya tampak kesal.
Aletta mendekatinya, duduk di tepi kasur dengan ekspresi lembut. “Geo, ayo dong nurut sama Mama. Kamu mau dimarahin Papa lagi?” bujuknya pelan, suaranya penuh harap.
Geo menghela napas panjang, matanya menatap lantai. “Jangan maksa aku, Ma. Kalian kenapa sih selalu maksa? Mau Mama, mau Papa, sama aja!”
Aletta mencoba tersenyum, meskipun ada ketegangan di wajahnya. “Ini buat kebaikan kamu, Geo. Mama cuma mau yang terbaik.”
Geo menatap Aletta dengan tatapan lelah, seakan sudah menyerah. “Ya udah deh, terserah kalian. Mau aku nolak atau nggak, kalian pasti tetap mindahin aku sekolah, kan?”
“Geo, kok ngambek gitu, sih? Nanti Mama beliin PC terbaru deh buat kamu,” ujar Aletta mencoba melunakkan hati Geo.
Geo hanya mendengus, membalikkan badan, menarik selimut hingga menutupi kepalanya. “Gak mau. Aku udah punya banyak. Sekarang Geo ngantuk, Ma. Tolong keluar...”
Aletta menghela napas berat, menggelengkan kepala dengan putus asa. Ia bangkit dari tempat tidur dan keluar dari kamar Geo, menutup pintu dengan lembut. Pikirannya kacau, dan stres yang menggelayutinya semakin terasa. Pertengkaran tadi dengan Brian masih menggantung di pikirannya, dan sekarang, Geo juga bersikeras dengan keras kepalanya.
***
Di restoran, hidangan yang sudah dipesan Bryan dan Bian sudah tertata rapi di atas meja. Bian langsung menyantap spaghetti-nya, sementara Bryan mempersiapkan kapas dan Betadine untuk membersihkan luka di kening Bian.
Bian sebenarnya sudah menolak saat Bryan menawarkan bantuan, tapi Bryan tak menghiraukannya. Ia malah memaksa Bian untuk terus makan.
"Akhh," lirih Bian, merasakan sedikit perih ketika kapas dengan Betadine menyentuh lukanya.
“Tahan ya,” kata Bryan lembut. Bian mengangguk, mencoba menahan rasa perih itu.
“Udah selesai,” ujar Bryan saat ia menempelkan plester putih di luka di kening Bian. Ia mengusap rambut Bian dengan lembut.
“Terima kasih, Om,” kata Bian tulus. Bryan tersenyum, mengangguk ringan. Mereka pun melanjutkan makan dalam hening.
Di tengah kesunyian, Bryan tiba-tiba memecah keheningan. “Bian,” panggilnya pelan.
Bian yang tengah fokus pada makanannya langsung menoleh. “Iya, Om?”
“Kamu di rumah tinggal sama siapa?” tanya Bryan, penuh rasa ingin tau.
“Aku tinggal sama Bunda dan saudara kembarku,” jawab Bian sambil tersenyum.
“Kamu kembar?” Bryan sedikit terkejut.
Bian tertawa kecil. “Iya. namanya Raka, cuma dia lebih tua dua menit,,” Bryan tersenyum
Mendengar jawaban Bian, Bryan merasakan kehangatan yang sulit dijelaskan. Obrolan ini membuatnya merasa nyaman, sejenak melupakan hal-hal yang membebaninya. Dalam hati, ia membayangkan anaknya yang sudah lama tak ia temui—bertanya-tanya seperti apa anaknya sekarang.
Ia berpikir mungkin anaknya sendiri sudah seumuran dengan Bian. Pikirannya pun melayang, bertanya-tanya apakah anaknya mirip dirinya atau lebih mirip dengan Alesha, istrinya yang sudah lama menghilang tanpa kabar.
“Kalau... ayah kamu?” tanyanya hati-hati.
Ekspresi Bian berubah. Senyumnya memudar sedikit, terlihat ragu menjawab.
Bryan langsung sadar pertanyaannya mungkin menyinggung. “Maaf, Bian. Gak apa-apa kalau gak mau jawab.”
Bian menggeleng. “Gak apa-apa, Om. Jadi... Dulu Bunda pernah cerita kalau Ayah meninggal waktu aku masih bayi. Kecelakaan katanya…” ucapnya pelan, pandangannya menunduk. “Kadang... rasanya beda aja.. kalau lihat teman-teman datang sama ayah mereka saat penggambilan rapot”
Bryan mendengarkan dengan saksama, merasa ada rasa iba yang timbul dari dalam hatinya. Dia mengusap kepala Bian, tersenyum lembut. “Yang penting kamu punya keluarga yang sayang sama kamu, kan?”
Bian tersenyum kecil dan mengangguk. Ada rasa syukur di wajahnya, meski ada kesedihan yang sulit ia sembunyikan.
***
Minggu,29,jan,2023
Janlup vote, komen, follow dan tinggalkan jejak, terimakasi...
Ig: wp_ayayti1
Tt: ayayti
KAMU SEDANG MEMBACA
KARAFERNELIA
Fiksi RemajaCerita ini menggambarkan perjalanan emosional Bryan dan Alesha serta dampaknya pada anak-anak mereka, menggambarkan kebahagiaan di tengah kesedihan dan harapan untuk masa depan. .... Raka berdiri di tengah kamar, wajahnya merah dan napasnya memburu...