HAPPY READING
.
.
.
.
.
.
.
.
.Di sebuah apartemen tempat staf pribadi Bryan tinggal, suasana mendadak riuh. Farhan, seorang pria muda berusia akhir dua puluhan, berdiri dengan ekspresi bingung.
Rambut hitamnya yang biasanya tersisir rapi kini sedikit berantakan. Ia baru saja melepas pakaian kerjanya—kemeja rapi yang menjadi ciri khas profesionalnya—dan berganti dengan pakaian santai: kaus panjang sedikit kebesaran dan celana panjang sederhana.
“Apa? Pak Bryan nyuruh saya jagain anak ini?” tanyanya, menunjuk bocah kecil di depannya dengan jari gemetar.
Bryan, yang tetap tenang dengan sikap dinginnya, hanya mengangguk pelan. Namun, reaksi Farhan seperti bom waktu yang baru diaktifkan.
“Enggak, enggak, enggak! Saya nggak bisa, Pak! Saya nggak biasa jagain anak kecil! Nanti kalau dia nakal gimana? Kalau dia rewel gimana? Saya kan belum punya pengalaman jagain anak kecil!” ocehnya, melambai-lambaikan tangan di udara seolah ingin mengusir tanggung jawab itu jauh-jauh.
Bryan memijat pelipisnya. Sebagai rekan pribadi Bryan yang biasanya cekatan, Farhan memang kerap terlalu banyak bicara saat diberi tugas yang tak sesuai dengan pekerjaanya. Tanpa basa-basi, Bryan mendekat dan mengeplak kepala Farhan.
“Diam. Ini tugas dari saya. Kalau kamu nggak mau...” Bryan mendekatkan wajahnya, nada suaranya berubah dingin, matanya menyipit menatap tajam, “...saya pecat kamu.”
Farhan melotot, langsung berdiri tegak seperti tentara yang baru mendapat teguran dari komandannya. “E-eh, p-pak! Jangan pecat saya! Oke, oke, saya bakal jagain anak ini,” jawabnya terbata-bata.
Namun, sifat usilnya langsung muncul. Dengan senyum setengah memohon, ia menambahkan, “Tapi... gaji saya tambahin ya, Pak?”
Bryan mendengus sambil melipat tangan di dada. “Dasar. Oke, saya pikirkan. Tapi jangan sampai saya dengar laporan kalau kamu lalai.”
Farhan mengangguk cepat-cepat seperti burung pelatuk. Dalam hati, ia menggerutu, Apa-apaan ini? Kok pekerjaan saya tiba-tiba jadi babysitter?
Bryan lalu berjongkok di depan anak kecil bernama Evan itu. Wajah Bryan yang biasanya kaku melunak sejenak. “Evan, saya pergi dulu ya. Nanti saya balik lagi ke sini. Kamu sama Om Farhan dulu, jangan nakal, ya?”
Evan mengangguk polos. Tapi tanpa peringatan, bocah itu tiba-tiba memeluk Bryan erat-erat. Bryan sempat terdiam, lalu perlahan membalas pelukan itu. Sentuhan hangat kecil itu menyejukkan, bahkan bagi seseorang seperti Bryan.
“Dah, Om Blian,” kata Evan dengan suara cadelnya yang menggemaskan, melambaikan tangan kecilnya saat Bryan beranjak pergi.
Farhan berdiri mematung di dekat pintu. Setelah Bryan hilang dari pandangan, ia menoleh ke Evan yang kini menatapnya dengan mata bulat penuh rasa ingin tau.
“Om Fahan, aku lapar,” kata Evan sambil mengusap perut kecilnya.
Farhan menepuk dahinya. “Ya ampun. Oke, oke, kita cari makan dulu. Tapi kamu janji nggak bikin ulah ya?”
Evan mengangguk penuh semangat. Ia lalu menarik tangan Farhan dengan tenaga kecilnya, membuat Farhan mau tak mau mengikuti bocah itu ke dapur.
Di sana, Farhan membuka kulkas, hanya untuk menemukan isinya hampir kosong. Ia menggaruk kepala, mengeluarkan sebungkus roti dan sebotol selai cokelat. “Nah, kita bikin roti cokelat aja. Mau?”
“Mau!” seru Evan, matanya berbinar-binar.
Saat Farhan sibuk mengoleskan selai, Evan mendekat, berdiri di atas kursi kecil untuk mengintip. Tanpa sengaja, ia menyenggol lengan Farhan hingga selai di pisau jatuh ke lantai.
“ya ampun, Evan! Hati-hati dong!” keluh Farhan.
Evan hanya tertawa kecil, seolah insiden itu lucu. Farhan memandangi anak itu dengan campuran pasrah dan kesal. Lalu bergumam dalam hati, Ya Tuhan, gini amat cari uang.
Next..
Ig: wp_ayayti1
Tt: ayayt
KAMU SEDANG MEMBACA
KARAFERNELIA
Novela JuvenilCerita ini menggambarkan perjalanan emosional Bryan dan Alesha serta dampaknya pada anak-anak mereka, menggambarkan kebahagiaan di tengah kesedihan dan harapan untuk masa depan. .... Raka berdiri di tengah kamar, wajahnya merah dan napasnya memburu...