Happy reading
.
.
.
.
.
.
.
.
.Aletta berdiri mematung, tubuhnya terasa tegang, sementara amarah menggelegak dalam hatinya.
Ia memandang kepergian Bryan dengan sorot mata yang penuh kekecewaan, membiarkan kata-kata Bryan tadi terus terngiang di pikirannya.
Tanpa menoleh sedikit pun, Bryan meninggalkannya begitu saja, berjalan menjauh dengan langkah tegas.
Sementara itu, Bryan melanjutkan agendanya dengan penuh tekad. Ia menyelesaikan urusan surat-surat perpindahan sekolah Geo, berharap Geo bisa memiliki lingkungan baru yang lebih baik, tempat di mana ia bisa belajar dan tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik.
Setelah selesai mengurus semuanya, Bryan memutuskan untuk menyendiri sejenak, mencari tempat yang sunyi. Ia menghirup udara dalam-dalam, merasakan segarnya angin yang menyentuh wajahnya.
Kedua matanya terpejam, kedua tangan dilipat di depan dada, mencoba meredakan segala beban yang menumpuk di dalam hatinya.
Ketika Bryan membuka matanya, pandangannya secara tak sengaja tertuju pada sebuah supermarket. Entah kenapa, perasaannya mendorongnya untuk masuk ke sana. Tenggorokannya terasa kering, dan ia memutuskan untuk membeli minuman. Ia pun berjalan masuk, mencari minuman favoritnya. Setelah menemukan dua botol kopi, ia segera membayarnya di kasir.
Selesai itu, Bryan keluar dari supermarket dengan dua botol kopi di tangannya. Saat menyebrang jalan, tiba-tiba sebuah mobil berwarna hitam melaju dengan kecepatan tinggi, melintas tepat di jalur Bryan.
Bryan membeku, tubuhnya reflek menunduk dan menutupi kepalanya dengan kedua tangan, seakan sudah pasrah dengan takdir yang nyaris menjemputnya.
Namun, di detik terakhir sebelum mobil itu menghantam, seseorang tiba-tiba muncul dan mendorong tubuh Bryan sekuat tenaga, hingga mereka berdua jatuh berguling di atas aspal.
Bryan tersentak. Setelah beberapa detik berlalu, ia membuka mata dan mendapati seorang anak muda terbaring di sampingnya.
Kepala anak itu berdarah karena terkena batu kecil di pinggir jalan, dan baju putihnya kotor penuh debu. Sementara Bryan merasakan kedua telapak tangannya perih, terkena goresan kecil akibat pasir dan kerikil yang tersebar di permukaan jalan.
“Hey, nak! Kamu nggak apa-apa?” Bryan langsung bangkit, mengulurkan tangan untuk membantu anak itu berdiri.
Anak itu, Bian, tersenyum kecil meski wajahnya tampak meringis sedikit. “Gak apa-apa, Om. Om sendiri nggak apa-apa, kan?” tanyanya sambil menepuk-nepuk bajunya, berusaha menghilangkan debu yang menempel.
“saya gak apa-apa. Tapi kamu... kepala kamu berdarah. Bisa infeksi nanti, ayo saya antar ke rumah sakit supaya dicek sama dokter,” ujar Bryan penuh perhatian.
“Ah, nggak usah, Om. Terima kasih. Nanti saya obatin sendiri di rumah aja,” tolak Bian halus sambil tersenyum tipis.
Bryan menghela napas, masih khawatir.
"Sudahlah, ayo. Anggap saja ini sebagai ucapan terima kasih saya karena kamu sudah menolong saya."Bian ragu sejenak, lalu menggeleng. “Beneran, Om. Saya ikhlas bantu Om. Serius, deh.”
Bryan tersenyum simpul, merasa anak itu benar-benar tulus. “Kalau begitu, mau nggak saya traktir makan di restoran? Anggap saja ini bentuk rasa terima kasih saya.” ajak Bryan dengan penuh harap.
“T-tapi, Om…”
“saya mohon, ya? Sekali ini aja. Mau, ya?” pinta Bryan, suaranya lembut namun memohon.
Akhirnya, Bian mengangguk. “Baiklah, Om. Kalau gitu, saya ambil dulu barang belanjaan saya di seberang sana,” jawabnya, sambil menunjuk tas belanjaannya yang terjatuh saat ia berlari menyelamatkan Bryan.
Bryan tersenyum lebar dan mengangguk, melihat Bian berjalan kembali menyebrang dengan hati-hati, menoleh ke kanan dan kiri sebelum melangkah. Bryan pun memperbaiki jasnya yang kotor, sambil sesekali menatap Bian dengan rasa syukur yang tak terucapkan.
***
Segini dulu yaaaa ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
KARAFERNELIA
Novela JuvenilCerita ini menggambarkan perjalanan emosional Bryan dan Alesha serta dampaknya pada anak-anak mereka, menggambarkan kebahagiaan di tengah kesedihan dan harapan untuk masa depan. .... Raka berdiri di tengah kamar, wajahnya merah dan napasnya memburu...