41. Akhir dari kita.

549 37 31
                                    

Yang harus di ingat adalah ini bukan pertama kalinya aku patah hati, bukan juga kali pertama aku di tinggalkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.







Yang harus di ingat adalah ini bukan pertama kalinya aku patah hati, bukan juga kali pertama aku di tinggalkan. Sebelumnya Renjun sudah lebih dulu melakukannya —aku sudah pernah di campakan, seharusnya bukan perkara sulit untuk sembuh dari rasa sakit. Sekarang, satu-satunya hal yang bisa aku lakukan adalah menikmati setiap rasa sakitnya, membiarkan sesak itu mencekik semakin kuat hingga mati rasa.

"Aku sendiri sudah menetapkan diriku sendiri sebagai rumah, sebagai tempat untuk kamu pulang."

Ucapan Jisung tiba-tiba terlintas lagi di kepalaku, bersamaan dengan bayangannya yang memeluk tubuhku tak ingin pudar. Aku kembali menangis, sekali lagi meratapi diri yang telah hancur.

Rumah itu, rumah yang kamu janjikan untuk aku tinggali —nyatanya aku tidak pernah menjadi tuannya.

Jatuh cinta tak pernah terasa sesalah ini sebelumnya, harusnya juga tidak sampai sesakit ini. Aku memandang nanar pada pergelangan tanganku yang masih di hiasi gelang perak pemberian Jisung. Perlahan aku melepaskannya, kemudian aku lempar asal dari atas balkon kamarku.

Rasa milikku ikut pergi bersamaan dengan kenangan miliknya yang aku lempar menjauh, dalam hati aku merapal harap agar tidak ada yang selamat, agar tidak ada yang tersisa.

"Jangan terlalu membenciku."

Kedua tangan yang semula memegang erat pembatas balkon terlepas begitu saja, tubuhku yang lunglai hampir merosot kebawah. Suara itu membuatku takut, aku takut mulai berhalusinasi lagi.

"Aku benci kamu." Aku mengatakannya lantang dengan sepenuh hati.  "Benci sebenci bencinya."

"Kamu mau lihat aku sehancur apa?"

Tidak ada jawaban. Bagus, karena sejujurnya aku takut terjatuh lagi. Segala yang ku rindukan, segala yang pernah aku nantikan —jangan sampai datang hari ini, aku bisa goyah lagi.

"Selembar kertas nggak bisa menyembuhkan, kamu hanya menambah rasa sakit pada luka yang belum sembuh."

"Maaf, Anna."

"Lagi pula nggak peduli apa yang kamu tulis di dalamnya —pilihan kamu tetap bukan aku."

"Anna—"

"Harusnya kamu nggak disini." Aku memotong cepat agar suara itu tak sampai membangunkan rasa yang sudah aku bunuh hingga mati. "Kalau mau ninggalin itu jangan setengah-setengah, pergi yang jauh. "

"Anna, aku nggak bohong waktu bilang kehadiran kamu adalah satu hal yang akan aku syukuri selamanya." Suaranya yang berat dan serak menyahut tenang, mataku terpejam kala sadar ada figur nyata dari orang yang sudah lama aku rindukan. Rupanya aku tidak sedang berhalusinasi.

BLOOD [Park Jisung]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang