35. Victoria (2)

814 151 28
                                    

Kata Jisung apa yang sudah Victoria lakukan dulu adalah salah, karena tidak seharusnya Victoria bermain-main dengan ilusinya sendiri dan memperburuk keadaan dengan mementingkan nurani dan malah melawan bangsanya sendiri. Tapi aku mencoba menempatkan diriku di posisinya, maka apa yang akan aku lakukan? Sepertinya aku akan melakukan hal yang sama dengan Victoria.

"Jisung, Victoria gak mungkin biarin Alice mati karena wabah mematikan itu—"

"Aku tau Anna," Jisung menjawab dingin, kemudian berdecak beberapa kali. "Dia bisa nyelametin Russiana Alice tanpa bikin kekacauan. Tapi kenapa dia malah nyelametin semua penduduk dari kota sihir itu dan melindungi mereka disini? Bahkan Victoria membuat kota baru untuk mereka tinggali."

"Orang yang dia tentang adalah seorang penguasa dari bangsanya sendiri."

"Sampai sekarang aku sama sekali nggak ngerti jalan pikiran Victoria."

Tapi menurutku Jisung, Victoria itu mengagumkan. Dia seseorang yang bahkan di dalam kepalaku tergambar seolah seperti malaikat. Bagaimana bisa kamu tidak mengerti seseorang yang sudah hidup bersamamu berpuluh-puluh tahun lamanya?

Victoria melakukan banyak hal untuk menyelamatkan banyak nyawa, bukan?

Senyap yang sesaat saja datang mengisi terpecah oleh suara dari kereta kuda yang datang mendekat dari belahan hutan, Jisung menarikku berdiri untuk kemudian hanya bisa diam membatu sesaat setelah kereta itu benar-benar berhenti tepat di depan kami berdua.

Seseorang turun dari kereta dengan jubah putih berenda yang panjangnya sampai menyapu tanah. Jubah putihnya indah, sama indahnya dengan bunga-bunga berukuran kecil berwarna perak dan emas yang menghiasi rambut putihnya yang di jalin rapi.

Apa dia seorang peri?

"Sudah lama sekali tidak melihatmu seperti ini, Jisung Park"

Gadis itu menyapa ramah dengan kedua matanya yang terlihat sendu, tapi Jisung hanya bergeming, perlahan aku merasakan tangan dinginnya menyentuh telapak tanganku dan menggenggamnya erat. Perlahan mata indah gadis itu tertuju pada kedua tangan kami yang saling bertautan, kemudian tawanya menggema.

"Kamu terlihat setakut itu melihatku," gadis itu dengan perawakannya yang tinggi dan juga dengan kulit putih sepucat pualam terlihat begitu mempesona, tetapi raut ramah yang pertama kali dia tunjukan berubah dingin begitu juga dengan suaranya ketika berbicara lagi. "Setakut itu sampai lupa siapa yang sedang berdiri di hadapanmu?"

"Dimana rasa hormatmu?"

Mendengar itu aku bisa melihat bagaimana keraguan membungkam Jisung. Dia masih tetap tidak bisa bersuara, tapi perlahan dia terduduk dan berlutut dengan kepala yang menunduk. Kemudian aku bisa mendengar dia bergumam samar. "Ilusi seperti apa ini? Kenapa tiba-tiba.."

"Aku sejak dulu memang hanya sebuah ilusi." Gadis itu berujar datar, pandangannya lurus saja kedepan tanpa peduli pada Jisung yang masih berlutut di bawahnya. "Sampai jumpa di Istanaku.."

Begitu saja dan tubuh tingginya berbalik menjauh menuju kereta kuda yang sejak tadi menunggunya. Setelah kereta itu pergi membawa serta gadis yang entah siapa namanya itu, aku mendengar suara isakan tertahan. Isakan yang memilukan itu berasal dari laki-laki yang saat ini sedang menggenggam tanganku begitu eratnya.

"Jisung?"

"Apa-apaan itu tadi? Ini hanya ilusi!" Jisung memekik frustasi.

"Jisung, kamu kenapa?"

"Anna, apa kamu juga melihat perempuan itu?" Jisung menatapku lekat, bertanya dengan suara lirih dan mata yang mulai memerah. "Apa kamu juga melihat apa yang aku lihat tadi?"

BLOOD [Park Jisung]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang