29. Meredam tawa

3.8K 541 55
                                    

Update lagi dong haha.

Rameiin ya?? part" mendekati ending loh ini!






***

"Kamu sebelumnya pernah ke bioskop kan?"

"Anna tolong ya—" Jisung menghembuskan napas lelah untuk kesekian kalinya. Walaupun kami sama-sama tau, bahwa paru-parunya tak lagi berfungsi, bahwa syarafnya tak lagi bekerja. "Aku bukan datang dari jaman purba, sampai gak tau bioskop itu apa"

"Emang bioskop apa?"

"Tempat ngopi-ngopi itu kan?"

"Oh my— itu warkop Jisung!"

Jisung tertawa, terlihat senang sekaligus terhibur dengan segala kekesalanku. "Berarti nonton dulu?"

"Iya" Aku mengangguk antusias "Setelah itu kita belanja baju, terus apa lagi ya?" Aku mengetuk-ngetukan jari di kepala, serupa orang sedang berpikir keras.

"Ah iya —habis belanja, kita makan es krim"

"Kenapa es krim?" Jisung terlihat tidak setuju "Seharusnya makan nasi dong. kamu pasti laper habis belanja kan?"

"Ya udah habis makan nasi, kita beli es krim"

Apa yang terjadi di hari kemarin hanya akan tetap tinggal disana sebagai sesuatu yang telah berlalu. Apa yang akan terjadi di hari esok, akan tetap menunggu disana sampai hari itu benar-benar datang. Melupakan kemarin, dan esok hari, aku menjadikan hari ini sebagai hari yang harus terlewati tanpa tersisa sebuah celah untuk rasa penyesalan. Seakan hari ini adalah hari terakhir di dunia —aku hanya ingin melakukan semuanya.

Iya, semuanya. Semua yang ingin aku lakukan.

Aku merencanakan bahagiaku, berencana untuk menghabiskan sisa-sisa hari dengan dia —orang yang saat ini menjelma menjadi sumber dari kebahagiaan itu sendiri.

Seseorang pernah mengatakan padaku, katanya ; khawatir lah ketika kamu terlalu banyak tertawa hari ini —karena tidak ada yang tau, duka apa yang datang bersama esok hari dengan tujuan merenggut semua tawa itu hingga tidak berbekas.

"Jam 5 sore" Aku menatap Jisung tegas "Jemput aku jam 5 sore, boleh kurang, tapi gak boleh telat."

"Siap tuan putri" Jisung menarik senyum manis, tapi tidak sampai sedetik senyum itu lenyap dan tergantikan raut cemas "Engg, tapi ibu kamu gimana? dia kelihatan gak suka sama aku. Kamu ingat malam itu kan?"

Tentu saja aku ingat. Bukan hanya Jisung —ibuku tidak menyukai semua orang asing yang datang ke rumah bersamaku. Untuk suatu alasan yang sebenarnya terlalu berlebihan —beliau selalu takut akan segala kemungkinan terkecil yang membuatku jauh darinya. Sejak kepergian ayahku, aku hanya memiliki ibuku sebagai satu-satunya keluarga, begitupun sebaliknya. Kami saling menjaga, saling mengisi —sampai suatu hari rasanya semuanya menjadi terlalu berlebihan, dan aku mulai merasa sesak.

"Mama kerja lembur hari ini, kita bisa pulang sebelum jam sepuluh malam"

"Oke." Jisung mengangguk setuju "Tapi kenapa Mama kamu kelihatan seenggak suka itu sama aku?"

"Mama gak suka dengan adanya orang baru, mungkin mama pikir makna kehadirannya akan berkurang —terlalu rumit untuk di jelasin. itu bukan sesuatu yang harus kamu pahami"

Karena memang begitu adanya. Mama selalu menunjukan batas tegas untuk garis pertemananku, sampai aku hanya memiliki segelintir teman yang bisa di hitung dengan menggunakan jari. Dan satu di antara segelintir itu adalah Russiana Alice, satu-satunya orang yang sangat dekat denganku dan mama. Bahkan Alice sampai memanggil mama dengan sebutan bunda.

BLOOD [Park Jisung]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang