Barata yang duduk di teras rumah Alara akhirnya melihat ibunya gadis itu datang. Segelas teh dihidangkan Artha di meja di sebelah kursi yang Bara duduki.
"Terima kasih udah bantuin Alara, ya," ucap Artha tulus.
Wanita itu menemukan rumahnya kosong saat pulang berjualan. Tak lama, sang putri pulang dengan seorang pria. Barata nama lelaki yang membonceng Alara. Dan dari lelaki itu juga Artha mendengar penjelasan yang diperlu, sebab Alara langsung tertidur usai minum obat.
Menerima tatapan penuh selidik usai meneguk setengah isi gelasnya, Bara mulai merasa gusar. Pria itu berdeham, sebelum memutuskan sedikit bercerita.
"Saya gurunya Alara waktu dia SMA, Buk."
Artha tampak terkejut, tetapi kemudian mengangguk. "Ibu juga sebenarnya heran. Selama ini, Ala nggak pernah bilang punya teman cowok selain Adi. Ternyata, gurunya."
Barata mengangguk. "Kami ketemu lagi waktu liburan kemarin." Perasaan bersalah mengisi relung hati Bara. Apa jadinya kalau Artha tahu apa yang sudah ia perbuat pada Alara?
Bara ingin bercerita lebih banyak, tetapi seorang tetangga menghampiri mereka.
"Maaf, Buk Artha. Tadi Alaranya nggak mau aku antar ke klinik. Katanya bisa sendiri."
Pada pengakuan itu, Artha hanya tersenyum maklum. "Nggak pa-pa, Buk Rio. Ala memang begitu, sungkan mungkin."
"Harusnya nggak perlu sungkan, Buk. Kan kita udah bertetangga lumayan lama. Lagian, Alara lagi sakit tadi. Malah tadi Bibinya Ala datang, terus marah-marah."
Sontak mata Artha membola mendengar itu. "Bibinya? Mbak Rosa?"
Tetangganya Alara itu mengangguk. "Aku nggak tahu dia bilang apa, tapi dia buat Ala marah. Terus, dia malah ribut di sini. Ala belum cerita?"
Artha menggeleng dengan wajah kelabu. "Makasih udah kasih tahu, ya, Bu Rio. Ala pasti nggak akan mau cerita ini ke aku."
Buk Rio mengangguk. Ia menyerahkan plastik berisi camillan kesukaan Alara. "Aku tahu Ala pasti nggak mau cerita ke Ibu. Makanya aku kasih tahu. Kasihan Ala, kalau Ibuk Rosa nggak dilabrak. Nanti makin ngelunjak. Ini, kasihkan ke Ala, ya. Cepat sembuh dianya."
Artha mengangguk. Wanita itu menghela napas setelah tetangga depan rumahnya pergi.
"Siapa yang marah-marah ke Ala, Buk?" Bara tak tahan untuk menyimpan rasa ingin tahunya.
"Itu, bibinya. Kakak ayahnya Ala." Tersenyum malu, Artha menunduk.
"Kenapa Ala dimarahi? Dia kan lagi sakit?"
Tak ada yang bisa Artha katakan, selain tersenyum pedih. Bara menangkap itu sebagai batas, kalau ia harus berhenti mengorek cerita. Pria itu tahu-tahu meremat pelan lengan kursi yang diduki.
"Aku sakit."
Pengakuan Ala siang tadi membuatnya tahu-tahu merasa tidak senang. Siapa yang tega memarahi Alara, saat gadis itu sedang sakit? Kertelaluan.
***
Bara bersedekap sembari bersandar di pintu kamar Alara yang terbuka. Pandangannya memaku sosok gadis yang terbaring di ranjang di dalam kamar. Hingga sore datang, Barata belum juga ingin beranjak pulang.
Pria itu belum tenang. Meninggalkan Artha seorang diri dengan kondisi Alara sedang sakit, ia rasanya tidak ingin.
"Mau apa?" tanya Barra saat menemukan Alara sudah terjaga dan mulai bangun dari posisi tidur.
Alara melipat dahi heran. "Bapak belum pulang?"
"Kenapa bangun? Haus?"
Alara menggeleng. "Mau ke kamar mandi," jawab gadis itu.
![](https://img.wattpad.com/cover/338757629-288-k753767.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Alara Doesn't Need Husband
RomanceTak pernah Alara sangka jika liburan tiga hari bersama teman SMA akan mengubah seluruh jalan hidupnya. Alara bertemu kembali dengan Barata, laki-laki yang sudah diam-diam ia sukai selama delapan tahun. Selama liburan, sesuatu yang tak pernah diduga...