Bab 16

263 39 3
                                    

Warning!

Sebelum membaca, aku mau ingatkan kalau bab ini penuh  dengan kebenciannya Alara. Jika merasa tidak nyaman, bisa di-skip  saja.

*
*


Alara selesai membereskan rumah saat tamu tak diundang mengetuk pintu. Menilik dari jendela dan tahu siapa yang datang, perempuan itu putuskan untuk tak membukakan pintu.

Ketukan di pintu mulai terdengar kasar. Alara putuskan untuk masuk ke kamar dan mengunci pintu dari dalam. Ia menyibukkan diri dengan ponsel, meski itu tak seratus persen mengalihkan atensi.

"Alara! Saya tahu kamu di rumah! Buka pintunya!"

Kening Alara perlahan berkerut. Ia benci teriakan itu. Rasanya membuat ubun-ubun panas. Alara ingin sekali menendang pintu rumahnya, sampai orang di luar sana ikut terpental.

"Anak macam apa kamu itu, hah?! Ayahmu sendiri sakit, dan kamu bisa tidak peduli?! Dasar anak durhaka kamu, Alara! Anak durhaka seperti kamu pasti akan dapat ganjaran!"

Sudah ribuan kali Alara mendengar kalimat serapah semacam itu. Beberapa orang meyakinkan Alara kalau sumpah itu tak akan terjadi, sebab bukan orang di luar sana yang berhak mengatur nasib orang.

Alara percaya itu. Namun, tetap saja hatinya sakit disumpahi dan dimaki seperti sekarang. Memang apa salahnya? Memang Bik Rosa yang di luar sana itu siapa, sampai punya kuasa untuk menghakimi perbuatan Alara?

Rasanya, Alara ingin membeberkan perbuatan orang yang Rosa sebut ayah tadi. Namun, ia yakin itu hanya pekerjaan sia-sia. Sebab Rosa sama saja dengan pria jahat itu.

"Alara! Lihat saja nanti! Kamu akan menderita! Kamu dan ibumu akan mati mengenaskan! Terkutuklah kamu, Alara!"

Tak terima ibunya ikut-ikutan disumpah, Alara keluar dari kamar. Perempuan itu membuka pintu, ditatapnya si pelaku keributan dengan sorot penuh kebencian.

"Kamu itu anak macam apa, Alara? Ayahmu itu sakit! Kamu sama sekali nggak mau menjenguknya? Kamu harusnya sadar Alara! Kamu kecil dulu, siapa yang memberi kamu makan dan merawat kamu?"

Selalu itu. Seolah tak ada hal lain, Rosa selalu mengungkit ini. Soal lelaki itu yang sudah memberi Alara makan dan membesarkan.

Memang apa yang istimewa dari itu? Bukankah hal itu wajar dilakukan orangtua untuk anak? Alara memangnya minta dilahirkan?

"Durhaka kamu, Alara! Hidupmu nggak akan bahagia! Kamu akan menderita, sampai kamu minta ampun ke Ayahmu!"

Alara menjatuhkan air mata, tetapi kebencian di matanya tidak pudar. Kalau saja bisa, ia ingin melakukan sesuatu yang jahat pada kakak ayahnya ini. Namun, Alara pikir itu adalah perbuatan orang tidak waras. Alara masih ingin dipandang waras.

"Sekali lagi, aku ulangi." Alara berucap dengan suara serak.

Di saat itu, Buk Rio datang dengan seorang pria. Tetangganya Alara itu memberi waktu untuk Alara bicara.

"Aku enggak mau mengurusi dia. Mau dia sakit atau enggak, udah bukan urusanku lagi. Jadi, jangan datang dan bikin keributan di sini sembarangan." Alara tidak berteriak, meski sekarang hatinya terasa sangat sakit.

"Anak durhaka kamu, Alara!"

Alara mengangguk. "Biarkan aku jadi anak durhaka. Itu bukan urusanmu. Jangan datang kemari lagi."

Usai Alara bicara, Buk Rio mendekati gadis itu. Ia pegangi lengan Alara.

"Iya, Buk Rosa. Jangan begini. Ibu selalu datang dan bikin ribut di sini. Apa baik marah-marah dan berkata kasar sama keponakan sendiri?"

Alara Doesn't Need Husband Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang