Bab 14

282 37 2
                                    

"Kamu kenapa tega ngomongin aku di belakang, sih, Alara?"

"Aku pikir kamu pendiam. Aku cerita karena kukira kamu bisa dipecaya. Kenapa kamu ngomong gitu sama Rita?"

Tadinya ingin mengabaikan ini. Namun, Alara tiba-tiba saja merasa benar-benar muak. Ia muak pada manusia-manusia bermuka dua seperti Rita.

Alara menutup buku folio di depannya. Pada Rita dan Soraya yang berdiri di hadapan, gadis itu melempar tatapan bosan. Begitu pula kepada beberapa karyawan perempuan yang berdiri di dekat meja kasir, yang sengaja ingin menontoni kericuhan yang mungkin saja terjadi.

Tidak. Alara tak akan memberikan kericuhan.

"Siapa yang  bilang aku sebut kakak perempuan haus belaian?" tanya Alara tanpa menyaring kalimat.

Soraya menunjuk Rita. "Dia bilang kamu sebut aku gitu karena udah tiga kali menikah. Aku juga nggak mau gagal sampai tiga kali, Ala. Aku cerita karena kukira kamu akan bisa paham. Tapi, kenapa kamu malah bilang aku begitu?"

Menoleh pada Rita, Alara menemukan perempuan itu tersenyum miring. Alara yakin kalau mantan penjaga kasir itu benar-benar ingin menendangnya keluar dari toko ini.

Tak cukup memfitnahnya sebagai pencuri pada owner, sekarang melakukan hal sama pada Soraya?

"Ada apa ini?" Tak lama Inka si pemilik toko datang. Perempuan itu mendapat keterangan situasi dari pegawai lain. Ia pun coba menengahi.

"Kamu benar dengar Alara bicara begitu soal Soraya, Rit?" tanya Inka sangsi.

Rita mengangguk. "Aku dengar pakai dua telingaku, loh, Buk. Masak salah?"

Inka menatap kasihan pada Alara yang masih saja bungkam. Ia bingung. Sebenarnya, ia yakin ini cuma salah paham. Meski baru sebulan bekerja, ia bisa membaca karakter Alara. Gadis itu tak suka mencampuri urusan orang lain, terlebih menghina seperti yang Rita tuduhkan.

"Kamu jujur aja, Alara. Kamu bener ngatain aku begitu? Kenapa?"

Alara balas menatap Soraya dengan sorot tenang. "Apa kalau aku menjelaskan, Kakak akan percaya? Setelah aku kasih cerita yang menurutku benar, apa Kakak akan mengubah tuduhan tadi? Aku enggak mau ngerjain sesuatu yang sia-sia."

Menimbang sesaat, Soraya mengangguk yakin. "Aku juga mau dengar cerita dari kamu, La. Biar adil, nggak cuma dari Rita doang."

Mengangguk satu kali, Alara berkata, "Aku enggak ngatain Kakak. Dalam hati pun enggak, karena aku tahu itu bukan hakku menghakimi mau berapa kali pun Kakak udah menikah."

"Terus? Kenapa Rita bilang kamu sebut aku kek gitu?"

"Coba Kakak tanya dia. Di menit ke berapa waktu dia bicara, aku menginterupsi ocehan dia dan ngatain Kakak kek gitu. Aku cuma diam pas dia cerita soal Kakak kemarin."

Soraya mulai sangsi pada pengakuan Rita. "Kamu nggak lagi fitnah Alara, 'kan, Rit?"

"Apa untungnya aku fitnah dia, sih, Soraya? Dia ini cuma lagi ngeles. Biasa, sok baik." Rita menatap benci pada Alara.

Alara menatapi Soraya yang tampak kebingungan. "Capek, enggak, Kak, kek gini?"

Alara teringat kala dirinya yang juga pernah berada di posisi Soraya. Mendengar orang lain menghina kita, rasanya memang menyakitkan.

"Aku benar-benar enggak pernah ngatain Kakak. Untuk apa? Sayangnya, memang enggak ada CCTV atau orang yang bisa aku jadikan saksi."

Alara mendesah susah. "Aku minta maaf kalau Kakak masih yakin aku memang ngelakuin itu."

Alara beralih menatap Inka. "Maaf, Buk. Kayaknya saya harus berhenti. Kerja di sini seru. Tapi, ada sesuatu yang rasanya enggak bisa saya hadapi. Mulai besok, saya berhenti, ya, Buk."

Alara Doesn't Need Husband Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang