Hari ini Alara masih di rumah sakit. Kata dokter, besok baru ia boleh pulang. Karena merasa penat di ruangan, Alara putuskan untuk berjalan-berjalan ke luar sebentar. Kebetulan Artha sedang pulang untuk mengambil beberapa perlengkapan.
Tujuan Alara adalah taman kecil di belakang rumah sakit. Bara sempat membawanya ke sana kemarin sore. Namun, belum sampai ia di sana, Alara bertemu dengan seorang dokter yang kemarin sempat melakukan pemeriksaan padanya.
Alara dan Barata melakukan check up premarital seminggu lalu di rumah sakit ini. Dan dokter bernama Anggi ini adalah dokter yang melakukan pemeriksaan pada Alara.
"Ibuk Alara?" sapa dokter Anggita pada Alara.
Usai balas menyapa, saling menanyakan kabar, dokter itu menanyakan sesuatu yang Alara tidak mengerti.
"Apa Ibuk sedang melakukan perawatan?"
Perawatan? Perawatan apa? Tidak paham, Alara bertanya sekaligus menjelaskan.
"Saya kecelakaan, Buk. Perawatan apa, ya, maksudnya?"
"Loh, apa pak Bara tidak menjelaskan hasil check up kemarin?"
Alara mengingat-ingat. Hasil pemeriksaan itu ada di tangan Bara. Dan lelaki itu tidak menjelaskan atau menyinggung apa pun pada Alara. Alara baru ingat ia tak bertanya juga. Pikirnya karena si lelaki tidak mengatakan apa-apa, artinya semua aman.
"Memang, hasilnya apa, Buk?"
Bermenit-menit selanjutnya Alara mendengar penjelasan dokter Anggi. Dan ia merasa seperti sedang bermimpi. Mimpi buruk.
Apa yang dokter Anggi tuturkan membuat Alara ingin sekali menangis. Kalau saja tak ingat sedang di tempat umum dan ruangan terbuka, Alara pasti akan benar-benar menumpahkan air mata.
Apa yang sekarang Alara ketahui begitu menyakitkan. Rasanya Alara tidak terima akan permainan takdir. Namun, ia sadar tak bisa mengubah apa-apa.
"Kalau begitu, saya permisi dulu, ya, Dok. Terima kasih sebelumnya."
Memutuskan pergi, Alara kembali ke kamar rawat. Niatnya untuk mencari udara segar di taman sirna sudah. Yang Alara ingin lakukan adalah menangis dan meratap.
Sesumbar sekali Alara ingin bahagia? Memang, sejak kapan hidup begitu baik padanya? Tidak dulu atau sekarang. Rasanya, bahagia dan hidup tenang adalah sesuatu yang mustahil.
Tanpa bisa ditahan, Alara membiarkan tangisnya tumpah. Membayangkan masa depan kalau sampai ia jadi menikah dengan Bara, Alara diliputi rasa bersalah. Ia juga kecewa, sebab ternyata Bara menyembunyikan semua ini.
Alara marah pada keadaan. Kenapa? Kenapa semua ini harus terjadi? Kenapa tiba-tiba sekali semua kebahagian ini direnggut darinya?
Apa ia sama sekali tidak berhak untuk bahagia? Susah payah Alara memantapkan hati untuk menerima pinangan Bara. Namun, apa yang terjadi sekarang malah membuatnya menyesali keputusan itu.
Alara mengambil ponsel. Ia menghubungi Bara dan meminta lelaki itu datang. Bara sempat menolak, tetapi Alara memaksa.
Terisak, Alara menunggui Bara di ruangan itu. Sembari menunggu, perempuan itu mulai memikirkan ulang rencana pernikahannya. Baikkah jika itu tetap diteruskan? Alara tidak ingin menyusahkan siapa pun, termasuk Bara. Ia hanya ingin memberikan kebahagiaan pada pria itu.
Lantas, apakah membatalkan segalanya juga jalan terbaik? Bagaimana dengan keluarga mereka? Dan yang paling penting, apa Alara rela melepaskan Bara?
***
Tiba di ruang rawat Alara, Bara menemukan gadis itu sedang menangis di atas ranjang. Sepertinya sudah sejak tadi menangis, sebab mata Alara terlihat bengkak.
![](https://img.wattpad.com/cover/338757629-288-k753767.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Alara Doesn't Need Husband
RomanceTak pernah Alara sangka jika liburan tiga hari bersama teman SMA akan mengubah seluruh jalan hidupnya. Alara bertemu kembali dengan Barata, laki-laki yang sudah diam-diam ia sukai selama delapan tahun. Selama liburan, sesuatu yang tak pernah diduga...