Bab 30

486 38 6
                                    

Alara sudah memastikan pada Bara kalau acara pernikahan mereka nanti haruslah sederhana saja. Tinggal menghitung hari, dan Alara mulai merasa gugup. Karena itu, ia putuskan untuk berjalan-jalan sore ini.

Mengayuh pedal sepeda, Alara mengingat-ingat apa yang sudah terjadi dengan perasaan tak percaya. Mulai dari bertemu lagi dengan Bara, hari-hari di mana pria itu berusaha mendekati, saat Bara dengan terus-terang mengutarakan keseriusan, hingga saat ini, di mana mereka akan segera menikah.

Sungguh semua ini jauh dari apa yang pernah Alara bayangkan. Jangankan menikah dengan Bara, bisa dekat dengan pria itu saja rasanya tidak mungkin dulu. Namun, sekarang? Tak lama Alara akan menjadi istri Bara.

Belum lagi, keluarga Bara yang ternyata bisa menerima Alara dengan baik. Meski keluarga itu sangat terpandang, mereka sama sekali tidak menganggap Alara atau keluarganya lebih rendah.

Kadang, Alara menganggap ini cuma mimpi. Di saat-saat tertentu, ia akan mencubit pipi sendiri, demi memastikan kalau dirinya tidak sedang tidur. Mungkin, beginilah perasaan jika tiba-tiba mendapat banyak hal baik di waktu bersamaan.

Puas mengelilingi lapangan sepak bola dengan sepeda, Alara berhenti sejenak untuk minum. Ponselnya bergetar di saat itu. Ada pesan dari Bara.

[Lima hari nggak ketemu Alara. Saya nelangsa. Cuma bisa rebahan.]

Senyum Alara mengembang membaca pesan menggelikan itu. Meski menggelikan, tetapi entah kenapa terasa manis juga. Alara mengetikkan pesan balasan setelahnya.

[Aku lagi main sepeda di lapangan. Seru. Habis ini mau jajan. Nanti malam ada film yang mau ditonton.]

Pesan itu terbaca, sebuah panggillan kemudian datang. Dari Bara. Alara sudah tahu, lelaki itu pasti akan menyuarakan protes kalau panggilan tadi dijawab.

Alara biarkan sampai panggilan itu berakhir. Bara kembali mengirimi pesan.

[Bisa, ya, bahagia. Kayaknya kamu baik-baik aja nggak ketemu aku lima hari. Kok bisa, sih? Beneran kamu ini suka aku dari sepuluh tahun lalu?]

Tertawa habis membaca pesan itu, Alara menyimpan ponselnya. Perempuan itu menaiki sepeda untuk pergi pulang. Sepertinya, ia memang harus menjawab panggilan telepon Bara. Dan itu agaknya lebih baik dilakukan di rumah.

Tersenyum-senyum mengendarai sepeda, Alara putuskan untuk mengambil jalan pintas, agar lebih cepat sampai di rumah. Namun, saat akan berbelok menuju sebuah jalan kecil, tanpa ia tahu sebuah mobil melaju kencang keluar dari sana.

Tabrakan tidak terelakkan. Bunyi dua kendaraan yang berbenturan terdengar. Di atas aspal, Alara tampak sudah terbaring, di dekat sepedanya yang penyok.

Alara masih sadar. Meski kepala dan kakinya terasa sakit, tetapi perempuan itu masih bisa melihat dan menyadari kalau beberapa orang mulai berkerumun di sekitarnya dan berniat membantu.

"Mbaknya bisa jalan?"

Alara menggeleng dan meringis saat seorang wanita berusaha memapahnya berdiri. Kakinya terasa sakit sekali. Beruntung ada seseorang yang membantunya naik ke mobil yang tadi menabrak. Belakangan Alara tahu kalau si penabrak ternyata bertangugngjawab dan membawanya ke rumah sakit terdekat.

***

"Alara di mana?"

Napasnya masih tersengal-sengal, Bara langsung menyuarakan pertanyaan itu pada Adi yang ia jumpai di lobi rumah sakit.

Melihat wajah pucat Bara, Adi menuntun pria itu untuk duduk dulu. Ia takut Bara akan pingsan karena bernapas saja pria itu kelihatan kesusahan.

"Alara di mana!" Bara mendorong Adi yang berusaha menahannya agar tetap duduk.

Alara Doesn't Need Husband Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang