Bab 26

330 42 5
                                    

Alara hanya bisa duduk dengan mata basah di teras rumahnya, saat acara kirim doa untuk Rio sedang berlangsung. Perempuan itu tak sanggup ikut hadir, takut menangis parah di sana, seperti yang ia lakukan ketika Rio dimakamkan.

Artha benar. Umur benar-benar tidak bisa diprediksi. Beberapa hari lalu, Rio masih di sini. Dua minggu lalu, pria itu bahkan menawarkan kesepakatan pernikahan. Namun, sekarang? Orang-orang sedang berkumpul dan mengirimi Rio doa. Sedangkan lelaki itu, sudah tenang.

Kepergian Rio yang tiba-tiba tak hanya meninggalkan duka. Namun, juga puluhan pertanyaan bagi Alara. Kenapa? Kenapa pria itu harus pulang dulu, bertemu dengannya dulu, baru pergi?

Mengapa Rio begitu baik hingga menyempatkan diri pamit pada orang-orang yang lelaki sayang? Dan juga, tentang pesan terakhir Rio padanya. Alara dibuat bertanya-tanya.

Apakah itu salah satu petunjuk? Mengapa Rio yang baru mengenal Bara bisa seberani ini menitip pesan agar Alara menjadikan lelaki itu teman hidup?

Apa Rio bisa melihat jika sebenarnya Alara memang ingin bersama Barata?

"Jangan cari suami. Cari teman. Teman hidup."

Alara jadi membongkar ingatan soal sikap Bara. Kemudian membuat penilaian apakah lelaki itu cukup pantas dijadikan teman? Dan jawaban yang perempuan itu dapat adalah pantas.

Rio lagi-lagi benar. Alara mungkin tak butuh suami. Namun, ia butuh teman. Dan teman yang Alara butuhkan adalah yang bisa sepanjang hari bersamanya. Bukan seperti Adi yang masih punya kehidpuan sendiri yang harus diurusi. Dan Ala sampai pada kesimpulan kalau sepertinya, dia memang butuh Bara.

Masalahnya ... bisakah keinginannya bersama Bara terwujud?

Bagaimana dengan keluarga Bara? Apa mereka bisa maklum dengan kondisi Alara? Mereka siap punya besan yang memiliki latar belakang yang tidak sepadan?

"Alara cantik."

Berjengit, Alara menoleh dan menemukan kalau Barata sudah duduk di kursi kosong di sampingnya.

"Ngelamunin apa, sih? Aku datang sampai nggak disapa?"

"Kapan datang?"

Bara menganga heran. "Aku lewat depanmu tadi. Nggak lihat?"

Alara menggeleng. "Maaf," ungkapnya menyesal.

"Barusan. Ngelamunin apa?" Barata ikut menengok ke depan. Pada rumah ramai yang sejak tadi Alara pandangi.

Alara bungkam. Ia hanya menatap rumah Rio dengan raut muram.

"Umur nggak bisa ditebak, ya, La."

Si perempuan berdeham.

"Mungkin, bisa saja aku yang meninggal besok."

Mendengar itu, Alara langsung melotot pada Bara. "Ngomong apa, sih, Bang? Kayak enggak ada hal lain aja yang bisa dibahas. Enggak usah ngomongin gitu-gitu."

Reaksi gugup yang Alara berikan ditanggapi Bara dengan senyum. "Kamu takut, ya? Takut aku meninggal?"

Hanya melirik tak suka, Alara memilih diam. Ia menekuri jemari di atas pangkuan. Membayangkan kalau bisa saja Bara mengikuti jejak Rio sewaktu-waktu, gadis itu menggigil takut.

"Karena itu, La. Selagi masih ada waktu. Yuk, hidup sama-sama. Kayak kata Rio. Kalau kamu memang merasa nggak butuh suami, anggap aku sebagai temanmu. Teman yang bisa tinggal serumah, tidur seranjang dan teman yang legal diajak melanjutkan keturunan."

Ketakutan Alara terurai sedikit. Meski tidak lepas, tetapi ia mampu membalas senyum jahil yang Bara berikan.

"Misal kita menikah, orangtuamu memang setuju? Aku enggak akan undang ayahku, Bang. Mengundang ayah dan keluarganya sama saja dengan mengajak perang."

Alara Doesn't Need Husband Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang