Bab 21

253 40 2
                                    

Alara menatap sedih pada layar ponsel. Duduk di ruang tamu, sejak tadi gadis itu tak berhenti memikirkan Bara. Bara yang tiba-tiba menghilang.

Lelaki itu tak lagi datang ke rumah. Tak ada lagi yang membawakan keripik, coklat atau camilan untuk Alara seminggu terakhir. Pun, Bara absen mengirimi pesan atau menghubungi.

Biasanya, walau cuma sebentar, Bara akan singgah ke sini. Meski pria itu habis dari kebun dan lelah, dia tetap menyempatkan waktu untuk bertatap muka dengan Alara. Sekarang, pesannya saja tak pernah datang lagi.

Alara tahu ini yang ia inginkan. Sejak awal, Bara harusnya memang tak pernah ke sini. Namun, saat pria itu akhirnya pergi, setelah sempat memberi beberapa kenangan baik, Alara dibuat merasa kehilangan.

Salahnya, meski sudah puluhan kali meyakinkan diri kalau memang inilah yang paling benar, Alara tetap saja merasa sedih di waktu-waktu tertentu. Seperti sekarang, misalnya. Perempuan itu merasa ingin mendengar suara mesin sepeda motor Bara memasuki pekarangan rumah. Atau, jika boleh sedikit egois, Alara rindu mendengar tawa lelaki itu usai melontarkan pujian-pujian konyol.

"Bara ke mana?"

Suara Artha menarik Alara dari lamunan. Gadis itu menengok pada ibunya yang sudah duduk di sebelah.

Pada ibunya, Alara menggeleng lesu.

"Apa dia sakit?"

Lirikan mata Alara tampak diisi rasa cemas. Apa benar Bara sakit? Karena itu tak datang? Bisa jadi.

"Boleh ibu tanya soal Bara, La?"

Gadis itu mengangguk, walau merasa gugup seketika menyelimutinya.

"Kapan kamu akan kasih kepastian ke Bara, Ala? Dia nggak mungkin nunggu selamanya, 'kan?"

"Maksud Ibu?"

"Soal pernikahan. Kamu belum kasih jawaban ke Bara, 'kan?"

Artha memberi senyum menenangkan. "Bara itu laki-laki baik, setidaknya itu menurut ibu. Pun, dia kelihatan tulus ke kamu. Tunggu apa lagi? Kasihan dia kalau terus-terusan nggak dikasih kepastian."

Alara memberi tatapan nanar pada ibunya. Wanita itu pasti tak merasa kalau Alara sudah memberi jawaban. Mungkin, ibunya pikir, kejadian seminggu lalu hanya bentuk dari pertengkarannya dengan Bara.

Alara meraih tangan ibunya untuk digenggam. "Ibu kenapa pengin lihat aku menikah?"

Mengernyit bingung sesaat, Artha tersenyum simpul. "Biar kamu ada yang jagain. Biar kamu ada temannya. Semua orang butuh pendamping dan semua perempuan pasti butuh suami."

Alara menggeleng dengan senyum kecut. "Alara enggak butuh suami, Ibu," katanya dengan suara lirih.

"Mana bisa begitu, Ala."

Soal keinginan tak akan menikah, Artha memang sudah pernah dengar. Ia tahu, putrinya pasti hanya merasa takut. Pernikahan yang gadis itu lihat, yakni pernikahannya dengan Radit, merupakan contoh yang buruk. Wajar jika Alara punya sedikit rasa cemas akan bernasib sama seperti dirinya.

"Nggak semua laki-laki seperti ayahmu, Ala. Dan Barata bukan ayahmu. Dia berbeda." Artha berusaha meyakinkan.

"Apa yang terjadi sama ibu, belum tentu akan terjadi ke kamu, Ala," sambung wanita itu lagi.

Namun, jawaban dari Alara masih sama. Perempuan itu menggeleng dengan muram di wajah.

"Aku enggak butuh suami, Ibu. Kalau masalah teman hidup, aku punya ibu."

"Ibu nggak akan hidup selamanya, Alara. Kalau suatu saat ibu pergi, siapa yang akan temani kamu?"

"Adi?" Alara berusaha menampilkan senyum. Meski begitu, luka dan kesedihan di matanya tak bisa disembunyikan. "Kita lahir sendiri. Mati juga bakal sendiri. Jadi, kenapa aku harus punya teman hidup kayak yang Ibu maksud?"

Alara Doesn't Need Husband Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang