[Aku perlu ngerangkak baru dibukain pintu rumahmu?]
Pesan dari Barata itu membuat Alara mengernyit. Perempuan itu gegas turun dari tempat tidur, kemudian keluar dari kamar.
"Buk, ada yang datang?" tanyanya pada Artha yang sedang menonton.
Artha menggeleng.
Alara berjalan sampai ke teras. Tak lama, ia melihat sepeda motor Bara memasuki pekarangan. Belum apa-apa, tawa lelaki itu sudah ia dengar.
"Aw, disambut." Bara memarkirkan sepeda motor, kemudian menatap Ala dengan mata berbinar.
Ala hanya bisa menatap kasihan pada Bara.
"Udah dimaafin belum?"
"Siapa yang marah?"
"Boleh masuk ini?"
"Siapa yang larang situ datang?"
Mengangguk-angguk, Bara membagi senyum lebar pada Artha yang menyusul ke teras.
"Sudah lama nggak datang. Ibu kirain udah putus sama Ala."
"Ini mau disambung lagi, Buk. Doain."
"Amin," balas Artha sembari masuk kembali ke rumah.
Pada Alara yang sudah duduk di kursi, Bara memberi tatapan memelas. "Diajak jalan-jalan mau, nggak?"
"Ke mana sore-sore gini?"
"Ke mana aja, asal ininya dipeluk." Bara menepuk pinggangnya. Pria itu lantas tertawa karena diberi tatapan jijik oleh Alara.
"Ingat umur, Bang. Masih pantas bertingkah kek gitu? Tahun ini berapa?"
Tertunduk dengan perasaan luar biasa malu, Barata menyahut, "Tiga delapan."
Alara menahan senyum mendengar suara pelan si lelaki. Gadis itu berdeham. "Tungguin aku ganti baju. Kalau lama, jangan ngomel. Siapa suruh ngajak jalan-jalan enggak kasih tahu dulu."
Mengulum senyum, Barata menaikkan pandang, kemudian mengangguk.
"Is, pikirmu wajah kek gitu manis, hah?" sewot Alara.
"Nggak manis? Orang-orang bilang manis." Lelaki itu mengangguk demi meyakinkan Ala.
"Orang-orang itu matanya minus!" sembur Alara sembari berbaik dan masuk ke rumah.
***
Bara membawa Ala untuk makan nasi goreng. Namun, setibanya di warung yang ia biasa datangi, pria itu malah kecewa saat Ala berkata tak bisa makan nasi goreng.
Pedas. Dan Ala bilang, tiap kali makan nasi goreng, perut si perempuan akan kembung dan tidak nyaman, lalu harus berakhir dengan minum obat maag.
"Enggak pa-pa. Abang makan aja. Aku bisa makan gorengan." Ala berusaha membujuk Bara yang wajahnya sudah menekuk.
Kalau saja nasi gorengnya sudah diantar ke meja, Barata pasti memilih untuk pulang saja. Dengan tidak bersemangat pria itu mengunyah nasinya. Rasa lapar mendadak hilang.
"Seminggu ini ke mana?" tanya Alara berusaha mencarikan suasana.
"Di rumah. Ngajar." Barata menatapi nasi di piringnya nanar.
"Abang ngajak aku jalan-jalan untuk ngelihatin wajah cemberut itu?"
"Cemberut mana?" Mata Bara melirik pada Alara. Mulai ada binar di sana.
"Itu," kata Alara sembari menunjuk Barata. Perempuan itu mengambil satu goreng pisang lagi, kemudian memakannya dengan lahap. Memastikan Bara melihat kalau ia tak masalah karena tak jadi ditraktir nasi goreng.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alara Doesn't Need Husband
Roman d'amourTak pernah Alara sangka jika liburan tiga hari bersama teman SMA akan mengubah seluruh jalan hidupnya. Alara bertemu kembali dengan Barata, laki-laki yang sudah diam-diam ia sukai selama delapan tahun. Selama liburan, sesuatu yang tak pernah diduga...