Bab 13

408 42 2
                                    

"Kalau ini cuma untuk nurutin permintaan Tante Artha, bagus kamu pulang."

Kalimat sinis yang kesekian kali Barata lontarkan kembali tak Alara tanggapi. Perempuan itu membantu si lelaki minum, usai selesai menyuapi bubur.

Barata terdengar meringis saat kembali berbaring. Alara mengamati wajah pria itu dengan raut cemas.

"Apanya yang sakit?"

Tadinya ingin pulang, tetapi Alara putuskan untuk menemani Bara sedikit lebih lama. Perempuan itu membantu si pria makan. Kebetulan, kata Mora, Bara memang belum makan sejak pagi.

Saat ini ia dan Bara ada di kamar si pria. Alara baru akan pulang kalau Bara sudah minum obat dan tidur.

"Bang? Apanya yang sakit?" ulang Ala karena Bara tak kunjung menjawab dan hanya terus menatapi.

Bara menggeleng pelan. "Cuma kerasa nggak nyaman di perut. Kembung kayaknya."

Mengangguk, Alara memeriksa tas. mengambil minyak kayu putih dari sana, kemudian kembali duduk di tepian ranjang Bara.

"Sini, aku sapukan minyak kayu putih." Alara menuang minyak itu ke telapak tangan. Perempuan itu mendekat pada Bara, untuk kemudian menyingkap kaus si lelaki.

Alara membalurkan minyak hangat itu di perut dan dada Bara. Biasanya, kalau ia merasa kembung, ia juga melakukan ini. Lumayang membuat nyaman. Semoga bekerja juga pada Bara.

"Ala," panggil Bara.

"Ya?" Alara menatap penuh atensi.

"Enak, La."

"Apanya?"

Wajah mirip robot yang sedari tadi coba Bara buat seketika hilang. Pria itu tersenyum dengan rona semringah. Ia pegangi pergelangan tangan Alara yang telapaknya masih menempel di dada.

"Ini. Diusap gini, enak."

Sadar apa yang sedang Bara bicarakan, Alara langsung mencubit dada pria itu. Ia tarik tangannya dari dalam kaus.

Mengulum senyum, Barata mengubah posisi tidur jadi menelungkup. Ia singkap kaus hingga leher.

"Usapin ke punggung juga, La. Biar enak. Maksudnya, biar hangat."

Tersenyum kecil, walau menerka ini hanya akal-akal Bara, tetapi Alara tetap membalurkan minyak kayu putih tadi di punggung si lelaki.

"Udah," beritahu si gadis saat pekerjaannya rampung.

Barata kembali berbaring miring menghadap Alara usai minum obat. Ia biarkan tubuhnya dipakaikan selimut hingga pinggang. Setelahnya, lelaki itu asyik memandangi wajah Ala.

"Kamu tidur. Habis bangun nanti, mudah-mudahan demamnya udah turun."

Barata meraih tangan Ala. Membuat gadis itu menyentuh pelipisnya yang kemarin lecet karena jatuh.

"Aku jatuh kemarin. Pas pulang dari kebun. Di sini luka."

Ala terlihat sedih. "Sakit? Sampai harus dijahit?"

"Sakit. Tapi, bukan itu yang paling sakit."

Alara sudah mendengar ini dari Mora tadi. Saat ia dibantu wanita itu menyiapkan bubur. Katanya beberapa hari lalu Bara jatuh dari sepeda motor hingga kaki dan pelipis lelaki itu terluka.

"Kakinya yang paling sakit?" tebak Alara sembari menyingkap selimut untuk memeriksa pergelangan kaki Bara.

"Yang paling sakit, pas aku jatuh, aku ...."

"Kamu apa?" Alara menanti dengan ekspresi muram.

"Aku panggil kamu, tapi kamu nggak datang."

Alara tertegun. Ia bisa merasakan kesedihan di cara Bara menatap juga bicara.

"Abang pikir aku super hero? Dipanggil pas Abang lagi dalam bahaya, terus aku bakal datang?"

"Kapan Adi kasih kabar kalau aku sakit? Tiga hari lalu? Lima hari lalu?"

Kepala Alara tertunduk. Ia tak bisa jelaskan kalau hari itu, ia ingin segera menemui Bara. Ala harus terlihat konsisten dengan pengakuan kalau ia tak menginginkan Bara.

"Apa sedikit pun, kamu nggak punya keinginan untuk jenguk aku, La?"

Alara berkedip demi menghalau sesuatu yang merembes di mata.

"Nggak usah jenguk. Dengar aku sakit, apa kamu nggak ada rasa ingin tahu? Telepon, atau minimal tanyain kabar aku lewat pesan?"

"Apa kamu nggak pu--"

Alara terbawa perasaan. Perempuan itu bersikap impulsif, menyela ucapan Bara dengan sebuah kecupan di sudut bibir pria itu.

Alara menjauhkan wajah. Ia tatap mata Bara dengan kedua matanya yang basah. "Cepat sembuh, ya. Hati-hati kalau kerja. Aku pulang dulu."

***

Bara harus memikirkan ini. Ia merasa sikap yang Alara tunjukkan sewaktu menjenguknya kemarin amat janggal. Maka, waktu yang harusnya dipakai untuk istirahat pria itu gunakan untuk mencerna keadaan.

Pertama, pengakuan Alara kalau mereka harusnya menjaga jarak usai kejadian saat liburan. Itu sangat tak masuk akal. Bagaimana bisa gadis itu bahkan sempat menghapus nomornya?  Bara tebak, kalau bukan karena untuk memulangkan jaket, mereka tak akan pernah bersua lagi.

Kedua, perasaan Bara yang berkata bahwa ada kemungkinan kalau Alara sebenarnya juga memiliki rasa padanya. Buktinya, di beberapa kesempatan, entah Alara sadar atau tidak, gadis itu bersikap sangat manis dan nyaris tak berjarak, bahkan jika mereka hanya sekadar mengobrol.

Entah itu hanya besar kepala atau berhalusinasi, Bara kerap menemukan sorot mata yang berbeda tiap kali Alara menatapnya.

Lalu, yang kemarin. Setelah hampir satu bulan mereka tak berinteraksi, Alara datang menjenguk. Bara ragu kalau kedatangan itu semata karena Artha yang menyuruh. Alara terlihat seperti perempuan yang tak akan mau dikendalikan orang lain.

Artinya, Alara masih peduli. Dan ciuman itu? Untuk apa itu Alara lakukan, kalau bukan karena si perempuan juga punya perasan? Benarkan? Ini sangat janggal.

Alara seolah menunjukkan kalau ia bukannya tak mau dengan Bara, hanya saja perempuan itu punya sesuatu yang membuatnya ragu.

"Apa Ala nunggu aku cerita soal masa laluku?" terka Bara.

Bara hanya memberitahu soal perceraiaan sekilas. Apa karena itu Alara ragu mengambil sikap?

Bisa jadi. Besar kemungkinan memang itulah alasannya. Bara harus mencari tahu.

Melirik jam di nakas, pria itu menemukan kalau sekarang sudah pukul delapan malam. Kalau pergi ke rumah Ala, ia akan sampai di sana setengah jam kemudian. Apa tak masalah bertamu selarut itu?

Apa dia memastikan lewat telepon saja? Ah, tidak-tidak. Alara mungkin menutupi kebenaran. Ala pandai membuat orang terpengaruh denga kata-kata. Bara harus melihat ekspresi perempuan itu secara langsung.

"Ah, kapan pagi datang?" gumam pria itu sembari menekan kepalanya dengan bantal. Ia amat tidak sabar.

***

Akhirnya Bara bersyukur ia tak punya jadwal mengajar pagi lagi. Usai sarapan, ia langsung berangkat ke rumah Alara. Sengaja tak memberi kabar, agar bisa menikmati ekspresi terkejut Alara.

Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Barata yang dibuat terkejut karena mendapati rumah Alara kosong.

"Cari siapa, Mas?"

Bara melihat seorang wanita seumuran ibunya Ala datang dari seberang rumah.

"Ala pindah, ya, Buk?" Barata cemas atas pertanyaan yang ia karang sendiri.

Buk Rio menggeleng dengan senyum di wajah. "Ala pergi kerja. Sudah sebulan dia kerja di toko oleh-oleh. Perginya pagi, pulang sekitar jam lima. Kalau Buk Artha, biasa, pergi berjualan."

Bara menarik napas lega. "Ala kerja?"

Buk Rio mengangguk. "Mau ke sana saja? Saya tahu alamatnya. Kalau mau, biar saya kasih."

Bara mengangguk antusias. Gegas ia catat alamat yang Buk Rio berikan di ponsel. Setelahnya, pria itu pun pamit. Segera meluncur ke tempat Alara bekerja.


Bersambung ....

Alara Doesn't Need Husband Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang