Pertemuan dengan Adi kemarin membuat Bara mendapatkan banyak hal. Salah satunya, dari mulut Adi sendiri Bara akhirnya tahu kalau lelaki itu hanya menganggap Alara adik. Yang kedua, Bara mendapat saran.
Untuk bisa tahu apa yang membuat Alara seolah punya masalah besar, maka Bara harus datang ke gadis itu setiap hari. Bara melakukan itu. Bukan hal sulit, pun itu sesuatu yang memang ia sukai.
"Aku tuh udah sembuh sejak kemarin, ya." Alara mendongak pada Bara yang barusan menarik lengan dan mengalungkannya di bahu si lelaki. "Ngapain di papah begini, hah?"
Menemukan sorot jengkel di mata Alara, Barata tersenyum-senyum. "Aku gendong aja mau?"
Menghela napas susah, Alara mengadu pada ibunya. "Ibuk! Bang Bara pegang-pegang aku!"
Dari arah dapur, Artha yang tadinya sedang menyiapkan bubur sumsum tertawa saja.
"Nak, Bara. Jangan begitu," katanya seolah percaya pada aduan Alara. "Nanti saya adukan ke ketua RT mau?"
Bara mengangguk. "Ide bagus. Biar sekalian dinikahkan."
Lelah menghadapi dua orang itu, Alara menarik tangannya dari bahu Bara. Perempuan itu memilih pergi ke toilet dan menuntaskan hajat.
Selesai dari kamar mandi, Alara duduk di teras. Ia ingin sedikit menikmati udara di luar kamar, setelah hampir lima hari hanya terbaring di karena sakit. Tak lama, Barara menyusul dengan segelas teh manis hangat.
"Mentang-mentang udah sembuh, aku mau dibuang gitu aja?" protes pria itu karena tak kunjung melihat Alara menoleh.
"Kamu enggak ke kebun, Bang?" tanya Alara seolah tak mendengar apa-apa.
"Masih dibersihin dan mau dipupuk dulu lahannya. Mungkin sebulan lagi baru nanam lagi," jelas Bara.
Alara menoleh dengan mata berbinar. "Aku ikut boleh?"
Barata melirik dengan sorot sok menilai. "Gajinya per hari. Memang kamu kuat panas-panasan?"
"Cuma lihat enggak boleh?" Alara sadar diri kalau tubuhnya terlalu ringkih untuk profesi bertani. "Hari itu pernah ikut Ibu panen sayur. Enggak kuat panas."
"Pingsan?"
Membuang muka, Alara mengangguk pelan. Rasanya ia malu sekali.
"Selain nggak tahan panas, apa lagi yang nggak bisa kamu tahan, Ala?" Pria itu menatapi sisi wajah Alara dalam. "Apa yang bikin kamu sakit kayak kemarin?"
Alara membalas tatapan Bara dengan sorot sendu.
"Entah kenapa, aku merasa yang kamu maksud kemarin bukan demammu. Sama kayak waktu kita ketemu di depan gang. Apa yang bikin kamu sakit, Ala?"
Alara menggeleng pelan. Perempuan itu menunduk, menekuri ujung kakinya. "Kamu enggak akan paham. Yang ada, kamu bakal ngejauh. Dan aku sangat enggak tahu diri karena enggak mau kamu ngejauh sekarang."
***
Pagi-pagi sekali Barata sudah bertamu ke rumah Alara. Artha yang hendak berangkat berjualan dibuat terheran-heran. Ia kira si pria mendapat musibah.
"Mau ajak Alara ke kebun, Buk. Kalau masih pagi, nggak terlalu panas," jelas Bara sambil tersenyum-senyum.
Mengangguk dengan perasaan lega, Artha pamit untuk berjualan. Lima belas menit kemudian, Barata pun berangkat bersama Alara.
Mereka sampai di kebun milik Barata pukul tujuh pagi. Sudah ada beberapa pekerja yang datang. Alara dibuat takjub karena luasnya lahan yang akan ditanami.
Alara gantian menatapi wajah Barata. "Kamu orang kaya, ya, Bang?"
Mengerutkan dahi, Bara membiarkan pertanyaan itu menguap. "Nanti, tanah yang udah digemburkan ini dikasih lubang dulu. Habis itu, baru benih jagungnya dimasukkan." Pria itu menjelaskan.
![](https://img.wattpad.com/cover/338757629-288-k753767.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Alara Doesn't Need Husband
RomanceTak pernah Alara sangka jika liburan tiga hari bersama teman SMA akan mengubah seluruh jalan hidupnya. Alara bertemu kembali dengan Barata, laki-laki yang sudah diam-diam ia sukai selama delapan tahun. Selama liburan, sesuatu yang tak pernah diduga...