"Ini serakah, mungkin juga terlalu muluk dan enggak tahu diri. Tapi, bolehin aku membersamai kamu, ya? Aku enggak mau yang lain. Enggak mau apa pun, atau siapa pun lagi. Aku tahu, aku perempuan yang banyak kekurangan, aku bahkan enggak pantas untuk laki-laki seperti kamu.Tapi, biarin aku sama kamu. Tolong kasih aku izin untuk selalu bersama kamu, ya?"
Barata merasakan matanya basah dan hangat. Pria itu memeluk Alara erat, sebelum membuat jarak agar mereka bisa saling berpandangan.
Saat mata mereka bertemu, Barata merasakan hatinya penuh. Ia diselimuti haru. Ingin tersenyum, tetapi tangis bahagianya berlomba-lomba untuk ditumpahkan.
Bara membiarkan pipinya basah. Digenggamnya tangan perempuan yang masih terisak dan menunduk di hadapan.
"Padahal, yang ngelamar aku. Kenapa malah aku yang merasa luar biasa bahagia?" Pria itu mengusapi pipi.
"Cincin aku mana, Ma?" Barata meminta cincinnya dibawakan.
Mora menghampiri putranya. "Yang pakein cincin ke Alara itu Mama, ya, Bara," ucap wanita itu sembari mengeluarkan cincin dari tempatnya.
Barata mengambil tangan Alara. Ia sempatkan mengecup telapak tangan perempuan itu sebelum meminta sang mama segera memasangkan cincin.
Mora mencium puncak kepala Alara, sambil berbisik, "Terima kasih, ya, Sayang. Selamat datang." Ia pasangkan sebuah cincin emas putih dengan berlian kecil di atasnya ke jari manis tangan kiri Alara.
Selanjutnya, cincin untuk Barata dipakaikan oleh ibunya Alara. Usai pertukaran cincin itu selesai, anggota keluarga yang hadir pun memberikan tepuk tangan.
"Akhirnya, si Alara taken!" Adi bersorak dengan senyum haru.
"Akhirnya, si Bapak Duda nggak sendirian lagi!" sambung Anin.
Barata memegangi wajah Alara, kemudian membuat perempuan itu menatapnya.
"Jadi, setelah perjuanganku selama ini, kamu akhirnya luluh, Wahai Alara yang cantik? Udah jatuh cinta sama aku?"
"Boleh?"
Bola mata Bara basah lagi. Alara tak menyuarakan pernyataan gamblang, tetapi mengapa ia merasa dihujani banyak cinta?
Bara mengangguk. Ia tak sanggup membuka mulut atau tangis akan pecah. Akan memalukan, akan jadi tertawaan Anin jika itu terjadi. Bara masih harus menjaga wibawa di depan ayahnya Alara.
"Yang tadi juga boleh?" Alara bertanya lagi.
"Curang kamu. Harusnya yang nangis karena terharu itu kamu, bukan aku." Bara memalingkan wajah saat air matanya kembali jatuh.
"Padahal ini baru lamaran. Gimana pas nikah nanti? Nangis kejer kamu, Bang?" celetuk Anin saat mengusapi ujung matanya yang juga ikut basah.
Barata kembali menatap Alara saat gadis itu menyeka air matanya dengan tangan. Bara berjanji, mulai saat ini, sampai nanti, ia juga akan melakukan hal sama pada Alara. Ia akan jadi orang pertama yang menyeka air mata gadis dan orang pertama yang menyediakan bahu saat Alara ingin menumpahkan sedih.
"Boleh, Bang?"
Barata berdecak. Pria itu jatuhkan kepalanya di atas pangkuan Alara.
"Mama, Bara nikahnya hari ini juga nggak bisa, ya?"
Setelah tangis haru, kali itu tawa pecah di sana. Alara merasa itu semua seperti mimpi. Acara lamaran yang membuat gugup, yang ia kira akan berakhir buruk karena kedatangan tiba-tiba sang ayah, nyatanya berakhir dengan baik. Sangat baik, bahkan. Karena siapa? Tentu saja, karena Barata.
***
Alara memutar ulang video yang Adi kirimkan kemarin. Rasanya ia tak percaya dengan apa yang tertampil di di sana.
![](https://img.wattpad.com/cover/338757629-288-k753767.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Alara Doesn't Need Husband
RomanceTak pernah Alara sangka jika liburan tiga hari bersama teman SMA akan mengubah seluruh jalan hidupnya. Alara bertemu kembali dengan Barata, laki-laki yang sudah diam-diam ia sukai selama delapan tahun. Selama liburan, sesuatu yang tak pernah diduga...