Bab 24

319 43 6
                                    

Bara menempati sofa yang dihuni oleh Adi. Kehadiran seorang lelaki asing di ruang tamu itu langsung menarik atensinya.

"Temanmu?" tanya lelaki itu pada Adi.

Adi terlihat tersenyum kaku. Pria itu terdiam, Bara melihat lelaki asing tadi mengulurkan tangan ke arahnya.

"Rio, tetangga depan rumahnya Ala. Teman SMP-nya Alara juga."

Menyambut uluran tangan itu, Bara menjabatnya dengan kernyitan di dahi. Ia baru tahu kalau tetangga depan rumah Alara punya anak laki-laki. Spa sedekat itu dengan Ala hingga bisa bertamu begini?

"Selama ini nggak pernah kelihatan." Bara menarik tangannya, kemudian memberi tatapan serius pada Rio.

"Selama ini kerja di luar kota. Baru-baru ini aja pulang, karena ada urusan penting."

Melirik pada Adi, Bara makin penasaran saat menemukan temannya Alara itu berpura memalingkan pandangan.

"Mau pindah kantor?" korek Bara lagi.

Rio menggeleng. "Mau nikah," jawabnya cepat.

"Oh. Selamat kalau gitu."

Rio menggeleng dengan bibir manyun. "Alanya belum bilang setuju."

Tepat saat itu, wajah Bara terasa kaku. Pria itu berhenti berkedip untuk beberapa saat, kemudian lipatan dahinya makin dalam.

"Ala?"

"Iya. Ala ini memang dari dulu susah banget dideketin. Beribu jurus nggak satu pun mempan. Kali ini, ini yang terakhir gue nyoba. Moga berhasil, deh. Doain, ya?" Tatapan Rio tampak penuh permusuhan sekarang.

Melihat senyum miring lelaki di depannya, Bara dengan spontan menggeleng. "Doain diri sendiri aja sampai sekarang belum dikabulin."

"Memang, doanya apa?"

"Biar Ala nerima lamaran saya."

Dengan cepat atmosfer di ruang tamu itu menjadi sedikit canggung dan penuh dengan aura permusuhan. Baik Bara maupun Rio saling menatap dan berusaha untuk tak berkedip.

"Udah ngelamar Alara?" Rio buka suara sembari melipat lengan di depan dada. "Alara yang tinggal di rumah ini?"

"Alara yang tinggal di rumah ini," jawab Bara penuh kesungguhan. "Sejak dua bulan lalu," katanya dengan senyum penuh kemenangan.

Rio mengangguk dengan senyum di wajah. "Saingan dong kita."

Bara mengangguk mantap. "Silakan."

Tampil percaya diri, sesungguhnya Bara amat ketar-ketir. Mengambil hati Alara saja masih jauh dari kata berhasil. Sekarang, masih harus punya saingan.

Berat ternyata. Bara berdoa semoga ia kuat dan jalannya dipermudah. Setidaknya, dibanding orang bernama Rio itu, Bara sudah punya satu pendukung. Adi, temannya Alara yang tadi mengabari kalau Alara mencarinya.

***

"Ala."  Di depan pintu kamar Alara, Adi mengetuk dengan wajah ditekuk. "Serius mau biarkan Tante Artha yang cuciin piring aku? Ala, keluar, ah."

Setelah mandi, Alara sama sekali tak keluar dari kamar lagi. Perempuan itu sengaja pura-pura tidur, mengunci pintu dan membiarkan tiga laki-laki aneh di rumahnya berbuat sesuka hati.

Satu jam berlalu, Alara malah mendengar Adi mengetuk-ngetuk pintu. Ditambah gerutuan dan permintaan tak masuk akal yang disuarakan dengan nada sok mengatur.

Alara ingin sekali mengabaikan itu. Namun, ia kasihan pada sang ibu. Wanita itu pasti kewalahan menghadapi orang-orang aneh yang bertamu tanpa diundang itu. Malas-malasan, Alara terpaksa beranjak dari kamar.

Alara Doesn't Need Husband Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang