Bab 22

228 37 5
                                    

Alara luar biasa senang saat menerima pesan berisi pemberitahuan jika ia diterima bekerja. Perempuan itu mengabari ibunya yang masih berada di pasar. Setelahnya, ia bersiap untuk berangkat.

Walau dapat shift siang, Alara merasa bersemangat karena ini hari pertamanya bekerja.

Setengah jam kemudian, Alara sudah di teras dan mengenakan sepatu. Saat itu, ia melihat Rio datang.

"Ada apa?" tanya gadis itu penuh atensi.

"Diterima kerjanya?"

Alara mengulas senyum, kepalanya mengangguk. "Karena itu, perlu apa? Aku mau berangkat."

"Butuh ojek aku lagi, nggak?" Rio menawarkan.

Menimbang sejenak, Alara menggeleng. "Mau nyobain naik angkot."

Rio mengangguk saja. "Aku cuma mau tanya. Kamu belum nikah, kan, ya?"

Tangan Alara yang semula sedang membuat simpul tali sepatu seketika berhenti. Ia mulai heran. Kenapa semua laki-laki yang dikenal selalu menanyakan dan membahas hal ini?

"Di muka aku ada tulisannya, ya? Belum menikah, gitu? Jadi, setiap orang yang datang pasti bakal tanya dan bahas itu," gerutu si gadis.

Rio tertawa pelan. "Kamu idaman soalnya. Sebrengsek-brengseknya cowok, pasti mau dapat istri yang baik-baik. Kayak kamu ini."

"Aku juga brengsek, kalau kamu mau tahu."

"Oh, ya? Mana percaya." Lelaki itu memberi senyum mengejek pada Alara.

"Aku belum nikah. Dan enggak pengin nikah. Apa urusanmu di sini udah selesai?"

Rio mengangguk. "Aku udah pernah dengar itu dari Adi, ngomong-ngomong."

"Adi lagi, Adi lagi," sungut Alara.

"Kamunya cuma mau dekat sama Adi. Ya kami terpaksa modusin Adi biar dapat informasi."

Rio kemudian berjongkok di depan Alara. Membuat wajah mereka sejajar. Untuk sebentar, pria itu terpesona dengan kepolosan yang terpancar dari wajah Alara. Namun, ia juga dibuat tertantang dengan sorot menantang yang selalu Alara punya di matanya.

Gadis di depannya ini masih saja cantik, seperti saat mereka masih SMP dulu.

"Aku menawarkan kesepakatan," tutur Rio memulai.

"Kesepakatan?"

"Ibuku udah nangis-nangis suruh aku menikah. Dan aku rasa, kamu juga udah didesak untuk berumah tangga. Sebenarnya, aku juga belum ada niat nikah. Merasa belum siap aja. Nah, kita berdua agaknya sepaham. Jadi, kenapa nggak kerjasama aja?"

"Apa untungnya?"

"Kita bisa bikin orangtua kita nggak khawatir lagi soal hidup kita setelah mereka nggak ada." Rio terdengar menghela napas. "Ibuku tiap hari bertanya soal siapa yang akan rawat aku kalau nanti dia udah nggak ada. Capek aku, La. Padahal, belum tentu ibuku berpulang duluan daripada aku, 'kan?"

Ada binar setuju di mata Alara yang menatap Rio serius. Gadis itu mengangguk. "Lagian, memangnya kita enggak bisa ngurus diri sendiri?"

Rio menjentikkan jari. "Uang, bisa cari sendiri. Mau beli apa-apa, atau mau jalan-jalan ke mana aja, bisa. Masalah teman? Kan bisa pacaran. Atau kalau memang butuh teman di ranjang, ada yang menyediakan jasa. Biar ada yang masakin? Aku bisa masak. Nggak bisa masak, kan ada rumah makan. Kenapa, sih, orang harus dipaksa nikah, padahal bisa bahagia sendirian?"

Alara tampak takjub. Baru kali ini ia bertemu orang yang pemikirannya serupa. Adi saja masih berharap bisa menemukan tambatan hati dan menikah. Belum lagi, seseorang yang belakangan sering Alara pikiran. Namun, lihat Rio ini.

Alara Doesn't Need Husband Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang