"TUMBEN sendirian. Mana dua bodyguard yang selalu ngintilin lo kemana-mana, tuh?"
Lima orang gadis mendatangi meja tempat Hayra melepas penat setelah manggung hampir selama dua jam lamanya. Baru saja ia hendak menyesap es lemon tea yang sudah berada dalam genggaman, Sevora dan kawan-kawan itu malah muncul entah dari mana. Perasaan, sewaktu Hayra masih berada di atas panggung tadi, mereka belum kelihatan batang hidungnya. Kenapa ketika ia sudah tinggal sendirian, mereka baru berani menampakkan diri?
"Jangan-jangan, udah dibuang lagi sama mereka!" timpal gadis lain yang berambut lurus sepanjang dada, Naomi, yang ditanggapi dengan gelak tawa keempat kawannya.
Tanpa memedulikan mereka yang mulai menarik kursi untuk duduk di meja yang sama, Hayra kembali menyeruput minumannya. Meskipun dikeroyok seperti itu, ia sama sekali tidak merasa terintimidasi. Memangnya kenapa harus takut? Sekali mereka menyentuh wajahnya, ia justru akan membalas mereka dua, tidak, lima kali lipat, sesuai dengan jumlah mereka saat ini.
"Naik lagi, dong," perintah Sevora sembari menyingkirkan gelas yang baru saja ditaruh oleh Hayra di atas meja. "Nanti gue bayar sepuluh kali lipat. Gimana? Kan, lumayan, tuh, duitnya. Bisa buat hidup lo sebulan."
Hayra menatap gadis yang mengenakan blouse pink dengan rok denim di atas lutut itu dengan senyum miring.
"Gimana, ya? Gue lagi nggak ambil lembur, tuh," kata Hayra santai. "Lo bisa datang lagi besok. Masukin request-an lagu lo di kotak dekat meja kasir. Besok pasti gue bawain."
Sevora mendengkus. Keempat kawannya juga menanggapinya dengan tawa sinis.
"Lo pikir, gue repot-repot datang ke sini cuma buat itu?" sahut Sevora.
Hayra mengedikkan bahu. "Terus? Mau apa lagi? Mau minta tanda tangan gue?"
Sevora menggertakkan giginya dengan kesal. "Lo pikir lo terkenal?"
"Mungkin." Senyum menyeringai menghiasi wajah Hayra.
"Nggak usah sok, deh, lo!" sahut Sevora lagi.
Hayra hanya mengembuskan napas panjang menyaksikan tontonan di hadapannya yang tidak kunjung rampung ini. Lagi pula, apa, sih, maunya mereka? Datang-datang, bukannya duduk diam menikmati suasana, malah bikin ulah.
Hayra merasa lelah. Ia ingin segera pulang. Sendirian tanpa adanya Hans, si pemilik kafe dan Lena, si tukang pencair suasana rasanya sangat hampa. Keduanya tengah ada urusan dengan keluarga masing-masing. Maklum, malam Minggu. Keluarga Hans dan Lena sepertinya adalah cerminan keluarga cemara yang sesungguhnya. Setiap Sabtu malam, mereka akan menghabiskan waktu bersama keluarga. Entah sekadar nonton bioskop atau jalan-jalan malam sambil cari makan di luar.
Terkadang gadis itu iri dengan keharmonisan keluarga kedua sahabatnya. Tapi, mau bagaimana lagi? Kondisinya berbeda. Seandainya dua tahun lalu, kecelakaan yang merenggut nyawa ayahnya tidak terjadi, mungkinkah ... ia juga akan merasa sebahagia Lena dan Hans? Atau mungkin ... jika sekarang ia ikut hidup bersama mamanya, ia ... mungkinkah ... juga akan mendapati kebahagiaan? Merasakan kehangatan keluarga?
Tidak, batinnya mantap.
Hidup sendirian lebih baik.
Gadis yang mengenakan blazer kuning pastel itu beranjak. Namun, Sevora segera menahan salah satu lengannya.
"Mau ke mana lo?" tanyanya ketus.
"Gue capek, mau pulang," jawab Hayra santai. "Kalau lo masih mau di sini, tolong jangan bikin berisik. Lo bisa pesan apa pun yang lo mau. Nanti bill-nya biar gue yang bayar."
"Memangnya lo punya banyak duit? Sok-sokan mau bayarin?" sinis Sevora.
Banyak, batin Hayra bangga.
Gadis itu melayangkan sebuah senyum sinis ke arah Sevora. "Jangan marah-marah. Wajah lo jadi jelek."
Sevora mengatupkan rahangnya rapat-rapat. Sepertinya, gerahamnya saling beradu di dalam, menahan kekesalannya. Seketika ia mengangkat tangannya ke udara dan bersiap untuk melayangkan sebuah tamparan keras pada pipi Hayra.
"Dasar kurang aj—"
"Hayra!"
Seseorang berkardigan cokelat muda dengan topi dan masker hitam tiba-tiba memanggil dari salah satu sisi kafe, membuat kelima gadis itu mengalihkan perhatiannya sesaat ke arah datangnya sosok yang tinggi dan tegap itu.
"Udah selesai manggungnya?" lanjut laki-laki itu sembari berjalan mendekat.
Sevora otomatis menurunkan kembali tangannya, sementara pandangannya masih belum juga beralih dari laki-laki itu.
Jika dilihat dari proporsi bentuk tubuh di hadapannya, Hayra merasa mengenali siapa pemilik tubuh itu. Tapi ... rasanya tidak mungkin ....
Laki-laki itu sudah berada di dekat mereka. Ia melepas topi dan maskernya secara bersamaan, lantas melayangkan seulas senyum hingga kedua matanya menyipit tinggal segaris ke arah Hayra.
Itu benar Wang Joo Hwan!
Melihat para gadis di hadapannya tampak menganga, sebuah ide jahil terlintas di kepala Hayra begitu saja. Kalau tidak salah, Joo Hwan tadi menanyakan dirinya sudah selesai manggung atau belum, kan?
"Iya, nih. Udah selesai. Terus ketemu mereka, ngobrol sebentar," jawab Hayra santai. "Kamu udah lama nunggunya?"
Sebenarnya, Hayra sangat gugup, tetapi juga ingin tertawa dengan situasi saat ini. Gugup karena entah bagaimana si Joo Hwan akan merespons ucapan tidak masuk akalnya, dan tertawa membayangkan betapa si Sevora dan sekutunya jantungan melihat kedekatannya dengan si bintang Hallyu. Melihat ekspresi mereka yang sampai menganga seperti itu, tidak mungkin mereka tidak tahu siapa sosok yang kini tengah 'menjemput' Hayra.
Joo Hwan menggeleng.
"Aku baru aja sampai," kata Joo Hwan sangat alami. Tidak ketinggalan, ia juga memasang senyum andalannya. "Jadi, kan? Katanya mau jalan-jalan sebentar habis manggung? Aku udah cari tempat yang bagus, loh."
Hayra jingkrak-jingkrak dalam hati. Good job, Joo Hwan! Sepertinya, meski tanpa briefing sekali pun, laki-laki ini sangat peka bagaimana harus menanggapi ocehan ngawurnya tadi. Memang, ya. Bintang Hallyu memang beda!
Eh, but, wait ... Jika ia bisa bersikap seperti ini, apakah itu berarti ... ia melihat semuanya?
Untuk sementara, ikuti saja dulu alurnya, batin Hayra.
"Jadi, dong!" sahut Hayra lagi sembari meraih tas selempang warna oranye dari kursi yang ia duduki beberapa saat lalu. "Kita juga udah selesai, kok, ngobrolnya."
Di luar pemikiran Hayra, Joo Hwan mengulurkan tangan kanan kepadanya. "Ayo. Keburu tengah malam."
Meskipun hanya pura-pura, Hayra sedikit merasa agak panas-dingin dibuatnya. Namun, untuk melengkapi seluruh drama yang ia ciptakan, akan lebih afdol jika ia menuntuskan pertunjukan itu hingga akhir.
Hayra meraih uluran tangan Joo Hwan seraya mengulum senyum manis.
"Ayo."
Keduanya melenggang pergi keluar kafe, menyisakan kelima dara yang kini tengah sibuk dengan pikiran masing-masing sembari menatap mereka dari jauh.
Joo Hwan menjadi pahlawannya kali ini. Yeah ... meskipun agak sedikit ... kemalaman.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
DECALCOMANIA (TAMAT)
FantasyBagaimana rasanya memiliki dua kenangan kehidupan di waktu yang bersamaan? *** Setelah sebuah kecelakaan terjadi, Juan terbangun dan mendapati dirinya hidup sebagai orang dengan identitas dan kehidupan yang berbeda. Remaja normal itu berubah menjadi...