HAYRA mendapati dirinya kini tengah berada di tempat yang sangat tidak asing. Tatanan meja, cat tembok yang berwarna kuning kusam dan mengelupas di sana-sini, serta kipas angin tua yang berputar, mengeluarkan bunyi-bunyian mirip jeritan tawa Mbak Kunti.
Gadis itu ingat betul bahwa siang tadi dirinya sudah datang kemari bersama si idol papan atas yang merupakan teman satu kelasnya, menyantap masing-masing satu mangkuk porsi mie ayam dengan jus stroberi dan jus jeruk. Namun, kenapa sekarang ia berada di sini lagi? Terlebih, bangunan ini tampak sedikit ... tua? Sangat berbeda dengan pemandangan yang ia lihat sebelumnya.
"Kamu nggak suka makanannya, Sayang?"
Suara lembut seorang wanita yang duduk di kursi sebelah Hayra, membuat gadis yang rambutnya dikuncir kuda itu sontak menoleh. Kedua matanya membulat, penuh ekspresi keterkejutan yang tidak terkira.
Bagaimana mungkin Bu Melodi, mama Hayra, berada di sampingnya? Jika Hayra tidak salah ingat, wanita berusia pertengahan empat puluhan itu seharusnya kini tengah berada di luar negeri, kan? Bersama keluarga kecil barunya?
"Ma ... Mama?" desis Hayra.
"Kamu masih suka pilih-pilih makanan, nih, ceritanya?" timpal suara bass yang berada di seberang meja.
Seorang pria berkemeja biru tua dengan kacamata persegi tengah menatap Hayra dengan jahil. Rambutnya yang tertata rapi efek dari pemakaian gel setiap pagi masih tampak sempurna. Bahkan, parfum maskulin yang tidak pernah Hayra lupakan hingga sekarang itu pun masih tercium aromanya.
"Pa ... Papa?" Kali ini, Hayra tidak bisa menahan air matanya untuk tidak jatuh. Ia bahkan beranjak dari kursi dan segera menghambur ke arah Pak Ziyad, papa Hayra. Gadis itu menumpahkan seluruh air mata dan teriakan histerisnya di dada bidang sang papa.
"Maafin Hayra, Pa ...," ucap Hayra di sela isak tangisnya. "Harusnya Hayra nggak lari waktu itu. Harusnya Hayra nunggu lampunya hijau dulu baru menyeberang! Maafin Hayra, Pa .... Maaf!"
Gadis itu semakin histeris.
"Kenapa, Nak? Kenapa? Ada apa? Minta maaf untuk apa?" Pak Ziyad berkali-kali melontarkan pertanyaan sembari memeluk anak semata wayangnya. Namun, Hayra sama sekali tidak menjawab. Lebih tepatnya, ia tidak mau menjawab. Ia akan sangat bersyukur jika seluruh rentetan tragedi kecelakaan itu hanyalah mimpi semata. Yang penting, saat ini, sang papa berada tepat di depan matanya, memeluk dengan erat.
"Jangan-jangan, dia nangis begini karena cekernya kurang!" seru suara anak laki-laki yang kedengarannya tidak jauh dari tempat Pak Ziyad duduk. "Mau ambil punyaku? Kebetulan aku nggak suka sama ceker ayam."
Menyadari bahwa suara itu bukan hanya halusinasinya, Hayra segera menarik diri dari pelukan sang papa, lantas melongok ke arah sosok laki-laki yang duduk di kursi sebelah Pak Ziyad. Seorang remaja laki-laki berseragam putih-biru kini tengah menatapnya dengan sebelah alis terangkat.
KAMU SEDANG MEMBACA
DECALCOMANIA (TAMAT)
FantasíaBagaimana rasanya memiliki dua kenangan kehidupan di waktu yang bersamaan? *** Setelah sebuah kecelakaan terjadi, Juan terbangun dan mendapati dirinya hidup sebagai orang dengan identitas dan kehidupan yang berbeda. Remaja normal itu berubah menjadi...