BAB 10 : HUJAN

42 6 6
                                    


"KETEMU."

Sebuah suara yang berat dan sedikit serak-serak seksi terdengar di pendengaran Hayra yang tengah asyik menikmati semilir angin di gazebo taman dengan mata terpejam. Seketika ia membuka kedua matanya. Akan tetapi, tidak ada bayangan manusia satu pun yang tertangkap oleh penglihatannya. Yang ada hanyalah hamparan rumput hijau dengan beberapa pohon flamboyan besar di beberapa sudut taman.

Masa iya, dirinya salah dengar?

"Hayra!"

Kali ini, suara itu terdengar lebih dekat. Tepat berada di belakang Hayra, sehingga ia harus memutar tubuhnya. Matahari begitu terang bersinar di balik sosok itu, membuat Hayra memicingkan mata karena terlalu silau. Retinanya tidak bisa melihat wajah sang laki-laki, tetapi ia bisa menangkap bayangannya yang berpostur tinggi dan tegap itu.

"Senang akhirnya bisa ketemu kamu lagi," ucap sang laki-laki. "I miss you."

Sebelum Hayra merespons apa pun, sosok itu kembali berbalik dan berjalan menjauh. Gadis itu hendak mengejarnya, tetapi badannya terasa berat sehingga tidak bisa bergerak.

"Tung ... tunggu." Suaranya terdengar parau. Ia hendak berteriak, tetapi sesuatu tercekat di kerongkongannya.

"Tunggu ....." Gadis itu terus berusaha menggerakkan badan sekaligus mengeraskan volume suaranya. Namun, tetap saja yang terdengar hanyalah rintihan pelan.

Tiba-tiba penglihatannya buram. Segalanya berubah gelap. Bersamaan dengan itu, ia merasa seseorang mencolek punggungnya dengan keras.

"Hay! Hayra!" desis suara gadis yang menoel-noelnya dari belakang. "Bangun!"

Hayra mengerjapkan-ngerjapkan matanya. Barulah ia menyadari bahwa kini ia tengah berada di dalam kelas, dengan ditatap tajam oleh Bu Weni—guru Matematika—di depan kelas.

Ah, sial! pekiknya dalam hati.

"Saya beri waktu sepuluh menit untuk cuci muka!" seru Bu Weni ketus. Wanita berhijab cokelat tua itu melirik arlojinya. "Jika nanti pukul delapan lebih lima belas menit belum kembali, tidak usah ikut kelas saya!"

Seketika gadis berkuncir kuda itu beranjak. "Baik, Bu. Maafkan saya."

Setelah berhasil keluar dari kelas, ia mulai menyusuri koridor untuk menuju toilet. Ia mulai merutuki kebodohan dirinya sendiri di sepanjang langkahnya. Pasalnya, semalam, layar proyeksi transparan miliknya yang berada di langit-langit kamar itu terus saja menampilkan adegan-adegan random hingga subuh! Gadis itu benar-benar begadang setelah mendapat telepon dari mamanya.

Hayra melirik arloji putih mungil yang melingkar di lengan kirinya. Ternyata ia hanya butuh tiga menit untuk membasuh muka. Setelah merapikan kunciran rambutnya, ia berniat untuk kembali ke kelas.

Seseorang tengah menunggu di seberang koridor. Seorang laki-laki, tengah menatap jauh ke arah lapangan basket. Hayra yang menyadari siapa pemilik tubuh atletis itu menyapanya lebih dulu.

"Kenapa di sini?" tanya Hayra mendekat.

Joo Hwan mengalihkan pandangannya ke arah gadis yang mengajaknya bicara. Ia menjatuhkan pandangannya tepat di kedua iris Hayra yang berwarna cokelat-kehitaman.

"Mau ke toilet," jawab Joo Hwan.

Hayra mengernyit. "T-ta-tapi kan, toilet cowok ada di sana." Ia menunjuk ke arah gedung di seberang lapangan basket. Memang, di sekolah itu, toilet laki-laki dan perempuan dipisah, sebagai upaya untuk menjaga hal yang tidak-tidak.

Joo Hwan manggut-manggut.

"Oh, salah, ya," celetuknya. "Ya udah. Nih."

Laki-laki itu melempar sebuah kotak susu berukuran 400 mililiter berwarna merah muda ke udara. Refleks Hayra menangkapnya.

DECALCOMANIA (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang