HAYRA mengempaskan tas ranselnya di atas meja dengan sedikit berisik. Akan tetapi, gadis di bangku belakangnya sama sekali tidak menanggapi. Ia malah sibuk berkutat dengan layar ponsel yang tengah dipegangnya. Dipandanginya layar ponsel pintar itu sambil sesekali mencubitnya untuk memperbesar-kecilkan obyek gambar. Raut wajahnya ditekuk kusut seperti pakaian yang belum disetrika.
Hayra sedikit menarik kursinya mundur dan segera duduk menyamping, lantas sedikit membungkuk untuk mengintip wajah Lena yang tertunduk. Sepertinya gadis berambut lurus hasil smoothing sebahu itu cukup terkejut mendapati sang sahabat telah berada di bangkunya.
"Astaga!" serunya kaget. "Udah lama sampai di situ?"
Hayra menegakkan posisi duduknya dengan wajah masih menoleh ke arah bangku belakang.
"Baru," jawabnya santai. "Lagi lihatin apa, sih? Serius banget, sampai nggak denger gue nyampe, padahal cukup berisik loh tadi gue banting tasnya."
Lena meringis. "Sori. Gimana? Udah dapat pembalutnya?"
Yang ditanya malah melongo. "Apa? Pembalut?"
Gadis berparfum aroma vanilla itu membuang napas kasar. "Kan, tadi, lo bilang kelupaan beli sesuatu, sampai nggak ngijinin ditemenin Hans. Apa lagi kalau bukan lo mau beli pembalut?"
Hayra membuka mulutnya lebar, lantas tergelak. Ia mengibas-ngibaskan tangan di depan wajahnya sambil berupaya untuk menghentikan tawanya. Gadis berambut lurus sepunggung itu baru saja mengingat kejadian sebelum memasuki celah gang sempit sendirian beberapa puluh menit yang lalu. Sepertinya, usaha untuk mengelabui kedua sahabatnya agar bergegas meninggalkannya cukup berhasil meskipun tidak sepenuhnya. Malah, Lena salah paham atas gestur tubuh Hayra yang sempat menyembunyikan tangannya di saku rok.
"Bukan. Bukan itu," jawabnya setelah tawanya reda.
"Terus?"
Hayra memberikan tanda dengan jari telunjuknya kepada Lena untuk mendekat. Setelah yakin jarak mereka berdua tinggal beberapa sentimeter, gadis berbibis tipis itu mulai menelangkupkan tangannya di sekitar area telinga Lena seraya membisikkan sesuatu.
"Heeehhh ... ???"
Lena terperanjat setelah mendengar apa yang dikatakan Hayra dalam waktu sepersekian detik itu. Mulutnya menganga. Kedua pupil matanya melebar. Ia menarik napas dalam sebelum—
"Lo masih waras, kan, Hay? Kenapa lo sampai berurusan sama mereka lagi, sih? Nggak ingat bulan kemarin lo juga hampir di-skors gara-gara belain Yuni yang mereka bully waktu itu? Aduh, udah, dong, Hay! Jangan ikut campur urusan mereka lagi kenapa?"
—mengomel sepanjang jalan kenangan seperti itu.
Hayra meringis. Ia sudah menduga reaksi sahabatnya akan seperti ini jika mengetahui apa yang telah terjadi di gang sempit pagi tadi. Makanya, ia tidak membiarkan dirinya ditemani siapa pun kalau tidak mau diseret secara paksa sebelum menghadapi Sevora dan kawan-kawannya—meskipun awalnya ia mengira gerombolan itu adalah preman pasar.
KAMU SEDANG MEMBACA
DECALCOMANIA (TAMAT)
FantasyBagaimana rasanya memiliki dua kenangan kehidupan di waktu yang bersamaan? *** Setelah sebuah kecelakaan terjadi, Juan terbangun dan mendapati dirinya hidup sebagai orang dengan identitas dan kehidupan yang berbeda. Remaja normal itu berubah menjadi...