BAB 42 : BACK TO HIGH SCHOOL

8 2 0
                                    


"ISTIRAHAT lima belas menit! Jika nanti kalian mendengar bel kembali berbunyi, itu artinya kalian semua harus berbaris lagi di lapangan ini, tanpa ada perubahan posisi sedikit pun! Mengerti!?" seru seorang laki-laki di tengah lapangan basket berseragam putih abu-abu. Di lehernya terkalung sebuah kartu identitas bertuliskan huruf-huruf kapital berbunyi FASILITATOR. Lalu, di bawahnya tertera sebuah nama. Meskipun hurufnya kecil-kecil, hingga hampir tidak terlihat dari sudut pandang Hayra, gadis itu tetap mengenali siapa yang sejak tadi berteriak-teriak di tengah lautan siswa berseragam biru putih itu.

Arunika Eric Abqari.

"Mengerti, Kak!" jawab para siswa peserta MPLS itu kompak, termasuk Hayra.

Setelah mendengar aba-aba 'bubar jalan', barisan sesuai gugus masing-masing itu mulai tampak berhamburan. Ada yang menuju ruang kelas, kantin, atau sekadar menepi di bawah pohon pinggir lapangan.

Hayra masih terdiam di posisi. Pemandangan dan keadaan saat ini sangat-sangat-sangatlah tidak asing baginya. Ia sudah pernah mengalami hal ini sebelumnya. Kejadiannya bahkan sama persis. Meskipun ia menyadari bahwa kini dirinya memang sedang mengulang masa dua tahun terakhirnya, tetap saja, ia masih belum bisa merasa terbiasa.

Kecelakaan yang menimpa dirinya dan Juan itu sudah lama berlalu. Tahun ini, ia kembali resmi berpredikat sebagai siswi SMA—setelah kembali menjadi siswi SMP setahun lalu. Rasanya seolah ia kembali ke masa lalu. Terdengar mustahil, bukan? Namun, itulah yang terjadi. Lagi pula, ini bukan satu-satunya kejadian gila yang ia alami. Ingatannya bahkan terseret ke dimensi sebelah, tempat Juan berubah menjadi idol kelas dunia! Apa lagi yang lebih tidak masuk akal daripada ini?

"Kenapa kamu masih berdiri di sini?" Suara bariton yang terdengar familier itu mendekat, membuyarkan seluruh imajinasi dalam kepala Hayra.

Gadis itu mendongak. Ketika pandangannya jatuh pada manik gelap Arunika, mendadak ia teringat sesuatu. Seperti inilah pertemuan pertama mereka saat itu, di dimensi sebelah, tentu saja. Jika dirinya tidak salah ingat, setelah bertemu seperti ini, laki-laki jangkung itu akan membawanya ke ruang kesehatan karena Hayra bilang dirinya tidak enak badan.

Belum sempat gadis berkuncir kuda itu mengatakan sesuatu, seorang laki-laki yang juga masih berseragam putih biru sudah tiba di sampingnya secara tidak terduga. Ia meraih tangan Hayra dan menggenggamnya erat. Hal ini tentu saja membuat gadis itu mengalihkan perhatiannya secara otomatis.

"Maaf, dia sedang menunggu saya," sahutnya tegas sembari menatap tajam wajah Aru. "Kak," imbuhnya, meskipun terdengar sangat susah untuk ia ucapkan.

Tidak heran. Hubungan keduanya memang suka memanas dari dulu—lagi-lagi—di dimensi satunya. Melihat ukuran tinggi badan mereka yang tidak terpaut jauh, membuat Hayra merasa kembali diapit dua tiang listrik.

Arunika manggut-manggut seraya menatap laki-laki itu dan Hayra secara bergantian dengan tajam.

"Waktu istirahat hanya tinggal sepuluh menit," tegasnya kemudian. "Saya tidak akan mentolerir keterlambatan barang satu detik pun!"

Setelah berucap demikian, laki-laki itu berbalik lantas mulai melangkah meninggalkan lapangan.

Hayra menatap sosok yang masih menggenggam jemarinya erat-erat itu dengan lengkungan pada bibirnya.

Benar. Semuanya terasa sama. Hanya satu yang berbeda. Laki-laki di hadapannya sekarang inilah yang membuat perbedaan itu. Harjuan Prima Putra. Juan.

"Kamu mau pedekate lagi sama si tuh tiang bendera?" Juan mengerucutkan bibirnya hingga beberapa sentimeter ke depan saat keduanya sudah berteduh dari panasnya sinar matahari di bawah pohon pinggir lapangan. Alisnya yang tebal juga bertaut. Jelas sekali ia sangat tidak menyukai interaksi barusan. Jelas sekali ia sedang cemburu. Jelas sekali ia merasa terusik.

DECALCOMANIA (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang