09. Mimpi

1.7K 124 7
                                    

Happy Reading guys ^_°

*

*

*

“Dini, bangun sayang.”

Suara lembut itu menyapa indra pendengaran Dini membuat tidurnya sedikit terganggu. Perlahan, mata Dini terbuka, dengan menahan rasa sakit di kepalanya, ia berusaha untuk menegakan posisinya yang semula tidur merebahkan kepalanya jadi duduk di samping brankas suaminya.

“Mamah,” panggil Dini.

“Muka kamu pucat banget, kamu sakit kayaknya, Nak,” celoteh Asyila. Tangan perempuan itu menyentuh kening menantunya, dan benar dugaan sang mertua, menantunya memang sakit, suhu tubuh gadis itu terasa sangat panas sekarang yang Asyila rasakan.

“Aku nggak papa, Mah. Cuman agak sedikit pusing aja sih,” kata Dini.

Asyila menggeleng. “Pasti gara-gara semalam kamu begadang nih, udah Mamah bilang sih tapi ngeyel, kamu tunggu di sini, biar Mamah panggil dokter buat ngecek keadaan kamu,” ujar Asyila.

“Nggak usah, Mah. Aku nggak papa,” tahan Dini.

“Nggak papa apanya, muka kamu pucat gitu, badan kamu juga panas banget, ini nggak bisa dibiarkan nanti tambah parah,” tekan Asyila.

Sang mertua hendak melangkah keluar. Namun, suara Dini mampu menghentikan langkah kaki itu.

“Mas Shaka tidur lagi ya?”

Asyila berbalik. Bersamaan dengan itu, pandangan Dini mengarah ke suaminya.

“Shaka memang belum sadar, Nak. Dia koma dari kemarin,” jelas Asyila.

“Tapi....”

“Kamu pasti mimpi suami kamu sadar ya? Sabar ya sayang, kita sama-sama berdo'a supaya dia segera sadar,” Asyila mendekat dan mengusap punggung Dini yang sudah tertunduk.

Pandangan Dini kabur, matanya dipenuhi oleh bulir-bulir bening, hatinya terasa sakit ketika mendapat kenyataan bahwa ia hanya bermimpi kalau suaminya sudah sadar. Ia kira itu nyata karena rasanya begitu nyata, tak tahunya hanya bunga tidurnya saja.

“Kamu yang sabar, Shaka pasti akan segera sadar, kita sama-sama berdoa ya,” ucap Asyila berusaha menguatkan hati sang menantu.

Dini berhamburan memeluk mertuanya, tubuhnya bergetar dalam pelukan itu karena menahan tangis. Bibirnya tak lagi mengeluarkan kata-kata, hanya suara tangisan yang terdengar.

“Aku khawatir sama Mas Shaka, Mah,” lirih Dini disela tangisnya.

“Mamah juga sayang, kita hanya bisa berdoa untuk kesembuhan suami kamu,” Asyila mengusap punggung sang menantu.

*

*

*

Setelah dibujuk oleh Asyila, barulah Dini mau minum obat penurun panas dan pereda sakit kepala. Sebenarnya, Asyila ingin menantunya itu dirawat dulu tapi Dini tetap bersikukuh mengatakan kalau dia tidak papa, akhirnya Asyila menyerah dan hanya meminta Dini untuk minum obat saja.

Memikirkan kondisi suaminya yang belum juga menunjukkan tanda-tanda bahwa dia akan segera sadar, Dini jadi tidak bisa tenang, bahkan makan saja harus dipaksa terlebih dulu oleh Asyila baru Dini akan mau makan.

“Ayok makan dulu,” ajak Asyila setelah ia balik dari luar untuk membeli makanan untuknya dan juga Dini. Kini hanya mereka berdua yang menjaga Shaka dirumah sakit, yang lain sudah kembali beraktivitas seperti biasanya, Aska yang bekerja dirumah sakit yang sama dimana Shaka dirawat, sesekali datang untuk melihat adiknya kalau dia tidak memiliki jadwal operasi.

Assalamualaikum, Dek Santri [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang