23. Pengorbanan Ardan

1.1K 102 10
                                    

Happy Reading guys ^_°

*

*

*

“Assalamu'alaikum,” salam Ardan memasuki rumahnya. Setelah beberapa hari tinggal di apartemen, sekarang ia kembali menginjakkan kakinya dirumah orang tuanya.

“Ardan, sayang, ayok masuk,” ucap Asyila yang nampak begitu bahagia ketika putra sulungnya kembali ke rumah.

“Ardan minta maaf sama Mamah, akhir-akhir ini Ardan nyakitin hati Mamah. Maafin Ardan ya,” mohonnya dengan berlutut dihadapan sang mamah.

Asyila tak kuasa menahan tangisnya, ia membantu Ardan untuk berdiri tegak disertai kepalanya geleng-geleng tak setuju dengan ucapan sang putra.

“Nggak sayang, Mamah sama sekali nggak sakit hati sama kamu, Mamah justru merasa bersalah, disaat kamu punya banyak masalah, Mamah nggak bisa bantu apa-apa,” lirih Asyila.

“Ardan nggak papa kok, Mah. Cuman lagi belajar mandiri aja makanya mutusin tinggal diluar,” ucapnya, tentu saja sepenuhnya adalah kebohongan.

“Terus gimana?”

“Ada peningkatan sih walaupun terkadang harus melawan rindu rumah dan kalian semua di sini,” jawab Ardan.

Asyila tersenyum.

“Bang Ardan,” panggil Shaka. Melihat kakaknya, Shaka berlari menghampiri dan langsung memeluk dengan erat.

“Masih aja manja padahal udah punya istri juga,” ledek Ardan.

“Biarin!” ketus Shaka.

“Akhirnya Abang pulang juga.” Ardan memaksakan senyumnya ketika berhadapan dengan Aska ditambah lagi Gemi berada di samping adiknya itu.

Meskipun senyum Ardan terlihat tulus tapi dibaliknya ada rasa terpaksa yang bercampur kecewa yang mendalam. Ardan melepaskan pelukan Shaka lalu mendekati Aska dan memeluknya.

“Pasti kangen sama gue lo ‘kan?”

Aska melepaskan pelukan tersebut. “Gue nggak manja kayak Shaka,” selanya.

“Kok gue?”

“Emang iya ‘kan?”

“Iya deh!” pasrah Shaka.

“Selamat kembali ke rumah Pa—eh Kakak ipar maksudnya, kalau mau sesuatu bilang aja sama saya Pak,” sapa Gemi pada Ardan.

“Nanti saya ambil sendiri aja, saya nggak manja kayak mereka berdua nih?” Tawa Ardan bernada dusta berirama kecewa.

Terkadang seseorang tertawa paling keras hanya untuk menutupi lukanya. Jangan langsung percaya kalau itu adalah tawa bahagia. Orang yang berhasil menyembunyikan rasa sedih dibalik tawa adalah manipulatif yang handal.

“Baiklah kalau begitu,” sahut Gemi.

“Kok rame banget, ada apa nih?” Nasya keluar dari kamarnya setelah mendengar suara yang cukup bising baginya.

Ardan menoleh, ia kemudian menatap ke arah Asyila meminta penjelasan.

“Dia Nasya, Ar. Anaknya tante Susi, ingatkan kamu sama tante Susi. Sekarang dia nginap di sini untuk sementara waktu sebelum dia balik ke Bandung,” jelas Asyila.

“Oh, oke.”

Melihat respon Ardan yang biasa saja, Nasya mendekati dan langsung menyodorkan tangannya untuk berkenalan.

“Nasya Kak,” ujarnya.

“Saya sudah tahu,” timpal Ardan. “Ardan ke kamar ya, capek banget, mau istirahat,” lanjutnya.

Assalamualaikum, Dek Santri [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang