BAB 19. Perasaan

137 24 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




Jika suatu saat nanti ternyata kita tidak ditakdirkan untuk bertemu di sebuah epilog. Setidaknya aku berharap kita bisa terus bersama di setiap bab cerita. Meski harus sebagai tokoh figuran.

🎸

Ada rasa malu ketika mengingat moment kemarin yang ternyata tidak ada adegan di mana Kumara memeluk Bumi di ending cerita. Semua orang mendadak dibuat bingung sekaligus kagum dengan aktingku dan juga Ilham yang begitu menghayati dan terlihat natural.

Bahkan Pak Rijal juga terus menerus memuji akting kami berdua dan malah menyuruh aku untuk selalu berdekatan dengan Ilham. Bila perlu menyuruh kami berdua untuk pacaran saja. Kalau disuruh pacaran sama Ilham aku sih ayo-ayo aja. Pertanyaannya Ilham mau nggak?

Angin di pagi hari ini cukup menyegarkan. Semua ingatan itu seketika lenyap. Kehadiran Keola cukup menggangu perasaanku yang kini berubah menjadi tidak nyaman.

“Hai!”

Suara perempuan itu sungguh sangat lembut dan lihat senyumannya itu sangat indah. Pantas saja Ilham sangat menyukai perempuan yang ada di depanku ini.

Dengan kaku aku menjawab, “Hai juga, kak.”

Perempuan itu masih tersenyum tipis. “Lagi liatin apa sih? Kok senyumannya lebar banget,” komentar Keola sedikit penasaran, lalu menoleh ke arah bawah. Kebetulan kami berdua sedang berada di lantai tiga. Tepat di depan kelasku.

Ada sedikit rasa gugup yang kini menyerangku secara tiba-tiba. Rasa takut juga ikut menyelimuti perasaanku. Pertanyaan-pertanyaan muncul begitu saja dalam benakku. Bagaimana jika Keola tahu bahwa sedari tadi aku sedang memandangi Ilham yang sedang bermain volley di lapangan sana bersama teman-temannya?

Apakah aku akan dicaci maki atau dilabrak di tengah koridor seperti pada adegan novel yang pernah aku baca?

“Oh, pantes. Yang diliatin ternyata anak kelas sebelas yang lagi olahraga, toh. Mereka emang ganteng-ganteng, sih.” Keola kembali menoleh ke arahku sembari memasang wajah ... menggoda?

Lalu tidak lama Nindi datang dengan menyerahkan sebuah baju olahraga kepada Keola. “Untung hari ini gue gak jadi pelajaran olahraga. Jadi, gue bisa pinjemin lo baju.”

“Terimakasih adikku!” kata Keola dengan gemas. Baru kali ini aku melihat Keola dan Nindi berinteraksi secara langsung. Ternyata mereka sangat harmonis.

🎸

Tepat pukul lima sore akhirnya aku bisa bernapas lega setelah hampir dua jam lamanya mengikuti gladi bersih untuk acara anniversary besok. Bahkan lapangan upacara kini sudah disulap seperti area konser dengan panggung yang kece. Meski hari mulai sore, namun sekolah masih terasa ramai.

Masih ada beberapa murid yang sibuk ke sana kemari untuk menyiapkan segalanya untuk besok. Termasuk Rindu. Laki-laki itu tampak terlihat sibuk. Menyiapkan perlengkapan besok dan baru saja dia selesai rapat bersama anak-anak osis lainnya.

Aku menunggu Rindu di kursi panjang yang ada di koridor sembari menulis sebuah puisi yang akan aku setorkan besok pagi kepada Rini.

Membayangkan sosok Ilham yang selalu membuat aku salah tingkah meski beberapa kali juga membuatku sedikit sansi karena masih memikirkan bahwa Ilham selalu berbohong tentang statusnya.

“Lagi nunggu Rindu?”

Aku menoleh saat seseorang tiba-tiba duduk di sampingku. Lagi-lagi aku kembali bertemu dengan Keola. Perempuan itu masih tetap cantik meskipun seharian ini melakukan banyak kegiatan. Membuatku diam-diam iri.

“Ya,” jawabku singkat.

Sebenernya aku tidak begitu pandai membuka obrolan seperti Rindu. Mencari topik pembicaraan dan memulai sampai tidak tahu bagaimana cara mengakhirinya. Bahkan seringkali Rindulah yang memulai semuanya dan aku hanya cukup merespon.

Namun, sepertinya Keola juga tampak tidak ingin terlalu larut dengan keheningan yang saat ini mereka ciptakan.

“Sebenernya gue penasaran dengan hubungan lo dan Rindu yang keliatan lebih dari teman,” komentar Keola.

Ya, memang lebih dari sekedar teman. Rindu adalah kembaranku yang bisa merangkap menjadi apa saja dalam satu waktu.

“Kalian terlihat ... cocok. Mungkin karena wajah kalian yang mirip. Kata orang kalau wajahnya mirip, itu tandanya jodoh.” Keola kembali berujar.

Di sekolah ini memang tidak ada yang tahu jika aku dan Rindu adalah saudara kembar. Aku sengaja menyembunyikannya dan tidak ingin ada yang tahu perihal ini. Cukup Huda dan Ilham. Tidak ada yang boleh mengetahuinya.

Kejadian itu ... membuatku tidak ingin mengalaminya lagi. Bahkan Rindu tidak tahu soal ini. Aku sengaja menyembunyikannya.

“Kita cuman sahabat,” jawabku akhirnya.

Tampaknya Keola masih belum puas dengan jawaban yang aku berikan. “Kalau perasaan lo ke Rindu bagaimana? Semua orang tahu jika kalian sahabat tapi, semua orang di sini bahkan setuju kalau kalian adalah sepasang kekasih.”

“Biasa aja. Kenapa kakak nanya gitu? Jangan bilang Kak Keola suka sama Rindu?” tanyaku membuat Keola terkekeh dan selanjutnya ada helaan napas lega.

“Gak kenapa-kenapa cuman penasaran aja. Lebih baik konfirmasi langsung ke orangnya, kan? Tapi, La. Kalau perasaan lo ke Ilham gimana? Perasaan lo biasa-biasa saja nggak?” tanya Keola menggoda.

Aku terbatuk saat mendengarnya. Bibirku kelu, tidak tahu mau merespon apa. Lalu tiba-tiba saja ada sebuah tangan yang kini sudah merangkul bahu ku. Membuatku menoleh ke arah samping kiri.

“Tentunya lebih dari biasa aja dong, Ke. Pastinya ada getaran. Masa iya sama pacar sendiri masih biasa aja, sih?” Ilham berujar demikian dengan diakhiri senyum yang menyebalkan. “Ya, kan, sayang?”

Aku tertegun, tidak tahu harus berujar apa. Bibirku kelu dan hatiku sungguh benar-benar berdegup lebih kencang dari biasanya. Aku menatapnya dengan pandangan tak percaya.

Ya, kan, sayang?

Sayang?

Dia bilang sayang?

Lalu setelahnya pria itu tertawa kencang. Bahkan matanya sampai berair. Apakah ini lucu?

“Canda, La. Jangan lo anggap serius ya, La?”

Jadi, dia bercanda? Kenapa hatiku kini malah manjadi sesak?

“La, pulang yuk! Rindu masih ada urusan katanya.”

Ada rasa lega saat tiba-tiba Huda kini sudah hadir. Dengan segera aku bangkit. Menarik pergelangan tangan Huda tanpa berpamitan lebih dulu kepada kedua orang tersebut. Aku jelas tidak ingin terus berlarut-larut di sana. Karena aku tidak akan menjamin sekuat apa aku menahan air mata yang sedari tadi ingin terjun bebas dari mataku.

“Lo masih punya gue, La. Nangis aja kalau lo mau,” ujar Huda saat kita sampai di sebuah pantai.

TBC

Aku update 💕 Bagaimana dengan part ini?

Masih ada yang baca cerita ini, kah?

Yuuk tinggalkan jejak ya bestie 💕

Kata Ilham Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang