BAB 1. Dia Ilham

672 63 32
                                    

BAB 1. Dia Ilham

Nama itu selalu disebut, muncul begitu banyak di benak. Mungkin karena dialah toko utamanya.

🎸

Ilham Ardian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ilham Ardian.

Dalam hati aku menggerutu, mengapa nama itu sangat sulit untuk aku lupakan?

Sangat curang jika hanya aku yang merasakan seperti ini, merasakan perasaan sesak setiap kali pria itu menggoda perempuan yang melewati kelasnya.

Seperti saat ini. Dia menggoda teman sekelasku hingga perempuan itu tersipu malu. Tentu kelakuannya itu membuat hati ini seperti dihujami hujan pisau.

Lebay, ya?

Aku meringis. Hingga akupun kembali sadar, aku hanya figuran yang bisa saja hilang hanya sekali kedipan mata.

“Hai, dede gemes. Mau lewat ya?” salah satu kakak kelas dengan name-tag Aldi Pratama itu menyapaku. Menangkap keberadaanku.

Pria itu duduk di undakan tangga nomor tiga. Sedangkan Ilham sendiri duduk di undakan tangga nomor dua. Tepat di bawah Aldi.

Garis lengkung aku berikan untuknya, membuat laki-laki itu berteriak histeris, sampai-sampai aku terkejut.

“Ya, ampun dek. Senyummu itu loh ... gimana ya mendeskripsikannya,” katanya berlebihan. Lalu Kak Aldi menoleh ke arah Ilham yang berada di bawahnya.

Aku yang berniat ingin melewati tangga dan langsung menuju kelas menjadi terurung.

“Menurut lo kata yang pas buat mendeskripsikan senyuman dedek gemes ini dengan kata apa ya, Ham?” tanyanya, membuat aku mematung. Tanpa sadar menanti jawaban dari Ilham. Memandang pria itu penasaran.

Hingga tatapan kita bertemu, laki-laki itu lebih dulu memutuskan kontak mata kita, lalu mendongak ke arah Aldi.

“Permen lolipop?” katanya. Setelahnya menoleh ke arahku, dan lagi-lagi tatapan itu menubrukku hingga aku gugup.

“Manis tapi bikin sakit,” lanjutnya.

Mulutku terkatup rapat, bergeming di tempat, hingga aku merasa membeku.

Kak Aldi yang tadi terus menerus menggodaku pun kini ikut terdiam. Mungkin dia bingung dengan situasi saat ini.

“Misi woy! Gue mau lewat! Aneh banget, duduk tuh di bangku! Jangan di tangga, ngalangin orang mau lewat aja.”

Untung saja Nindi datang di saat yang tepat, hingga keheningan yang sempat melanda kini hilang entah ke mana.

🎸

Dia terlalu banyak bertingkah
Berlari dengan senyum merekah
Menggodaku hingga ikut terlena

Berada di tempat yang sama
Aku merasa bahagia
Meski itu hanya ilusi semata

Untuk kamu si banyak tingkah
Si tukang jail yang bikin rindu kian melanda

Kini, aku berani menyapa.

Hai!

Hai M

Ada yang sama denganku? Menyukai seseorang, namun hanya bisa mencintai dalam diam. Tidak berani mendekat, meski dia di depan mata.

Atau ... ini cuman aku saja yang merasakannya? Hanya berani menyapa melalui puisi? Berharap dia melihatnya sendiri di papan mading yang amat malas untuk dibaca ini.

Aku menatap puisi hasil karyaku. Menatapnya lamat, hingga sebuah sapaan mengagetkanku.

“Wih! Makin hari, makin oke juga puisi lo. Kali ini lo terinspirasi dari kisah siapa?” tanya Rindu si cowok hits di SMK Cahaya Abadi.

“Nggak ada. Tiba-tiba kepikiran aja. Maybe?” Aku mengucapkannya ragu. Lalu aku menoleh ke arah Rindu. Menatapnya lamat. “Menurut lo, puisi gue bisa bikin orang peka nggak?”

Sontak saja pertanyaanku membuatnya tertawa. Sedangkan aku? Sudah dipastikan wajahku ini seperti orang linglung.

“Ada yang lucu?” Aku bertanya dengan nada sinis. Hingga akhirnya pria itu menghentikan tawanya.

Rindu berdeham sejenak. “Jadi, lo lagi kode cowok lewat puisi?” tebak Rindu tepat sasaran. “Menurut gue pribadi jelas jawabannya nggak. Kecuali lo nulis inisial atau nama tuh cowok di puisi lo mungkin si doi langsung peka.”

Aku berdecak. Rindu ini memang tidak pernah bisa membantu. “Itu sih namanya bukan kode! Tapi sebuah ungkapan langsung dan tepat sasaran!”

Lagi-lagi Rindu tertawa, menatapku dengan tatapan gemas. “Ya lagian lo. Kode cowok kok lewat mading. Emang dianya suka lihat mading? Kalau iya sih gak masalah. Tapi, kalau sifatnya kaya Bang Ilham? Gue sih gak yakin. Dia, kan, paling males soal beginian.”

Aku mematung, tanpa sadar aku menoleh ke arah papan mading. Terpaku pada kertas bewarna biru langit yang berisi puisi milikku. Setelahnya aku meringis.

Mahala, lo benar-benar bodoh! Rutuku.

“Beda lagi kalau Huda. Dia mungkin peka. Dia sama kaya kita, suka sastra.” Rindu melanjutkan ucapannya dan aku hanya diam. Mencerna ucapan Rindu.

“Lo lagi suka sama siapa? Kok gak pernah cerita sama gue?” Mata Rindu kini sudah menyipit, menatapku penuh selidik hingga aku gugup sendiri.

“Jangan sampai Rindu tahu!” batinku.

“Jangan bilang lo suka sama ... Huda? Atau gue?” tebak Rindu. Kali ini tebakannya meleset dan aku sangat bersyukur.

“Gak! Gila lo! Ya, kali!” bantahku dengan tegas. Menatap Rindu sebal.

“Kali aja.” Aku mendengus saat melihat si Rindu yang katanya cowok ganteng nomor dua di angkatan 11 itu mengangkat bahunya cuek.

“Ngaco! Gak mungkin gue su—” Ucapanku terpotong. Suara itu berhasil membuat diriku terdiam secara otomatis.

“Ndu! Gue cariin ternyata lo di sini. Gue kira di mana. Ternyata lagi pacaran sama ....”

Dia Ilham. Orang yang jail hingga membuatku rindu. Selalu berkeliaran di pikiran dan namanya selalu muncul di hati.

Kini, pria itu di depanku untuk yang sekian kalinya. Sama seperti biasanya, aku masih tetap diam, meski orang itu ada di depan mata.

“Temen sekelas, bang. Gak usah cemburu gitu,” jelas Rindu.

“Ceweknya juga gak papa kok, Ndu. Anaknya juga manis ... Kayak lolipop,” balas Ilham dan sialnya dia Lagi-lagi membuatku terdiam seribu bahasa.

TBC

Aduh si Ilham memang meresahkan ya say?

Btw, welcome di kisah Ilham dan Mahala!

Kata Ilham Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang