Sepeda bewarna biru yang aku kendarai tiba-tiba saja rantainya lepas. Hari ini aku memang terpaksa naik sepeda ke sekolah karena Ayah sedang mengantar Rindu untuk pergi ke rumah nenek yang ada di Kebumen. Terhitung mulai hari ini kembaranku itu akan pindah sekolah. Nenek tiba-tiba meminta untuk Rindu dapat sekolah di sana dengan dalih agar Rindu dapat menemani nenek yang memang tinggal sendirian di rumah semenjak kakek wafat beberapa waktu lalu. Belum lama.
Ada perasaan hampa ketika mengingat Rindu sudah tidak satu sekolah denganku. Rasa-rasanya hari yang aku lalui begitu berat, orang yang menjadi satu-satunya membuatku tetap kuat di saat orang-orang mulai menjauh, kini orang itu juga ikut menjauh.
Rindu tidak salah. Pria itu bahkan tidak mengetahui bahwa saudara kembarnya dikucilkan dan beberapa kali juga dibuli.
Tanpa sadar bulir-bulir air berlomba-lomba untuk keluar dari mataku, turun begitu saja melewati pipi. Entah mengapa tiba-tiba aku merasa melow seperti ini.
“Ini gimana cara benerinnya! Kenapa sih Rindu gak ngajak aku ikut pindah sekolah! Kalau aku ikut, sekarang aku lagi tiduran di rumah Nenek!”
Aku terus mengeluh sembari membenarkan rantai yang lepas, keadaan jalan kali ini cukup sepi, sedangkan hari sudah mulai sore. Seandainya aku tidak ada kerja kelompok mungkin saat ini juga sudah berada di rumah.
“Sini gue benerin.”
Tanganku yang sudah penuh dengan oli, bergerak tanpa henti demi rantai yang lepas itu agar segera jadi seperti semula harus berhenti ketika aku mendengar suara milik seseorang.
Pandanganku terangkat, lalu tanpa sadar mendelik terkejut saat mendapati kang permen yang sedang berdiri dengan jaket rajut warna coklat.
Pria itu berjongkok di samping sepeda milikku. Raut jahil yang sejak pertama kali aku lihat, kini entah pergi kemana. Raut jahil, tengil itu seolah lenyap dalam hitungan detik dan digantikan dengan raut wajah teramat serius di sana.
Dalam hatiku bertanya-tanya, sebenarnya pria ini siapa? Adik kelas? Kakak kelas? Atau teman seangkatan? Sebelumnya aku belum pernah melihat laki-laki ini.
Pria itu sepertinya bukan dari kalangan manusia-manusia populer.
“Udah jadi nih rantai lo,” ujar pria itu, aku melirik ke arah rantai sepeda milikku. Ternyata laki-laki ini benar, rantai sepeda milikku sudah tidak lepas lagi.
Senyum manis aku berikan kepada pria itu, lalu aku berujar, “Terimakasih ....”
“Ilham. Nama gue Ilham.”
🎸
Terhitung lima hari semenjak pertemuanku dengan pria bernama Ilham saat pulang sekolah, aku tidak bertemu lagi dengannya. Padahal semenjak hari itu aku tidak henti-hentinya berkeliling agar dapat bertemu dengan Ilham.
Hari ini aku memutuskan untuk pergi ke perpustakaan sekolah, buku kini sudah menjadi teman untukku.
Hening dan sepi adalah kesan pertamaku saat memasuki perpustakaan sekolah. Pandanganku sudah aku lemparkan ke penjuru perpustakaan. Hanya ada beberapa murid yang sedang sibuk membaca atau sekedar mengerjakan tugas.
Langkah kakiku langsung aku arahkan ke arah rak yang berisi novel, aku mencari novel mana yang nantinya akan aku baca.
“Ini aja,” ujar seseorang pria sembari menyodorkan sebuah buku yang sedikit tebal.
Kedua alisku reflek menyatu, merasa heran dengan pria yang ada di depanku ini. Kalau tidak salah ingat, pria ini adalah salah satu teman Rindu. Tetapi aku lupa dengan namanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kata Ilham
Fiksi RemajaKalau kata Ilham, melupakan itu mudah. Cukup hilang ingatan saja, setelahnya lupa. Ilham itu orangnya mager, tapi kalau soal mendaki dia yang paling semangat di antara ketiga temannya. Ilham itu orangnya suka goda cewek, tapi giliran digoda balik...