22. Memberi Harapan

2.3K 260 24
                                    

Sejumput dedaunan kering yang dikenal sebagai bahan dasar teh itu diambil. Kepulan asap mengudara. Berbaur dengan udara malam yang dingin.

Rion memandang datar cangkir teh yang telah terisi. Minatnya tak lagi ada. Pikirannya dikelabuhi banyak duri mawar mematikan. Mungkin ini saatnya seputung rokok menjadi tempat pelariannya.

Laci nakas itu dibuka. Menunjukkan eksistensi benda yang diyakini sebagai penghilang stress. Rion memang menyimpannya. Tapi bukan berarti ia terus menggunakannya.

Nyala bara api kecil tersemat pada ujung rokok itu. Rion menyesap sisi lainnya lalu kepulan asap mengudara. Mengotori udara sejuk di balkon kediaman ini.

"Senora...."

"Kenapa...."

Ah bahkan untuk melanjutkan saja Rion tidak sanggup. Kecewa, kesal, marah, dan perasaan negatif lainnya menghantui Rion. Membuatnya terpeleset pada lembah terjal dalam pikirannya sendiri.

"Ha....hahahahahaha...."

"Ah. Bodoh sekali aku."

"Benar-benar bodoh!"

Gertakan antara gigi graham itu terdengar. Bersamaan dengan itu sorot matanya menunjukkan kebencian.

Tak dapat dipungkiri lagi sekalipun Rion berharap semua kenyataan ini hanyalah mimpi. Istrinya telah melakukan hubungan terlarang dengan laki-laki lain.

Kenapa kini Rion yakin? Sebab ia membuktikannya sendiri. Di sebelah kiri perut istrinya terdapat luka jahitan. Hal itu Rion sadari saat ia menyentuh tubuh Senora tadi. Lalu... ah, ini sangat menyebalkan! Perkataan Agares benar! Senora menolak ajakan Rion.

"Tidak ku sangka wanita yang ku nikahi sehina itu! Dan mirisnya lagi aku sampai mencintainya."

"Hahaha. Kau sudah gila Rion!"

Diam sejenak. Rion merasakan nikmat dari setiap hisapan rokok itu.

Sesak! Ini lebih sesak dari penderitaan yang Rion terima saat peristiwa desa Hariun kala itu. Hatinya telah diserahkan seutuhnya pada Senora. Tapi, justru kenyataan pahit yang ia terima.

"Haha, apa aku masuk jebakan si bangsat itu lagi?!"

"Baiklah, sejak awal memang niat ku hanya ingin memanfaatkan. Maafkan aku Senora. Bukan aku yang salah. Keadaan ini lah yang salah!"

Benar! Keadaan yang memaksa Rion memutuskan pikiran gilanya. Mengedepankan ego untuk memenuhi perasaan berkecamuk dalam dada.

Tok Tok Tok

"Duke Rion, ini Aku...." ucap suara wanita di balik pintu. Suara familiar yang terasa indah namun berduri.

Rion menjatuhkan rokok yang masih tampak panjang. Ia menginjaknya agak bara api itu hilang.

Bibirnya mengulas senyum. Ia telah belajar dari ahlinya. Si pendusta handal!

"Senora? Masuklah," ujar Rion tak mengendurkan sikap perhatiannya.

"A-anu... kau sedang sibuk ya?" tanya Senora seraya melirik tumpukkan kertas di meja.

"Emh. Yah begitulah. Tapi, aku akan melupakannya sejenak untuk mu. Duduklah," pinta Rion. Dirinya mempersilahlan kursi untuk Senora.

"Kenapa kau kemari? Tidak bisa tidur?"

"Bukan itu."

"Lalu?"

"D-Duke Rion. Maaf...."

Sejenak senyum itu mengendur. Digantikan tatapan datar. Rion mengerti arah pembicaraan ini. "Maaf untuk apa, hm?"

Imperial Flower (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang