41. Pudar

4.2K 307 15
                                    

“Meskipun begitu… aku masih…. Mencintai mu.”

Tubuh Senora lunglai. Ia hampir limbung jika tidak langsung berpegangan pada ujung kursi. Kenapa dia harus mengatakan itu di akhir hidupnya?!

Awan mendung tiba-tiba datang. Kilatnya memancar layaknya cambuk penghukuman. Senora masih terpaku menatap tubuh Agares yang sudah tergeletak tak bernyawa di lantai. Salivanya ditelan kasar. Ini adalah keputusannya. Mengakhiri semua kisah pelik ini. Jika tidak begini, sealamanya mereka akan menghantui Senora bagai parasit.

Agares yang bersumpah akan mengejar Senora sampai mati. Lalu diikuti oleh Rion yang dengan leluasanya memanfaatkan untuk kepentingan balas dendamnya. Rantai obesesi ini tidak akan pernah putus. Hanya akan putus jika dewa kematian iku andil.

“Ini akan segera berakhir.”

PYAR!

“Ya-Yang Mulia?"

Senora menoleh ke sumber suara dan menemukan seorang pelayan wanita ternganga di ambang pintu. Entah sejak kapan pintu itu terbuka. Itu tidak penting! Sekarang saatnya Senora berakting layaknya seorang penjahat sungguhan.

“Oh, maaf atas kelancangan ku yang tiba-tiba menerobos ruang kerja Yang Mulia. Aku permisi dulu….”

Senora berjalan elegan. Ketika dirinya berdampingan dengan pelayan itu ia berbisik pelan, “Tolong urus jasad orang mati di sana!”

Mata pelayan itu semakin melebar. Bibirnya gemetar. Bulir air mata telah luruh sepenuhnya. Sejauh ini rencana Senora telah berjalan sempurna. Melalui kematian Agares, Senora bermaksud membawa Rion dan Aslan untuk mati bersamanya. Sebagai pengkhianat yang merencanakan kematian calon Kaisar.

Gila? Ya! Senora memang sudah gila! Kewarasannya telah direnggut setelah ia memutuskan untuk mematikan perasaannya. Tak ada lagi masa depan. Dirinya memutuskan berhenti berangan-angan. Semua itu hanya akan menumbuhkan harapan semu.

Senora berjalan menelusuri koridor istana. Keinginannya yang terakhir hanya satu. Melihat taman istana yang sempat ia kagumi keindahannya saat pertama kali menginjakkan kaki kemari.

“Ah, sayang sekali aku tidak bisa melihat bunga bermekaran di malam hari,” ucapnya setelah matanya menangkap Rion berpas-pasan dengannya. Peluh membasahi kening laki-laki itu. Menandakan ia tengah dilanda kepanikan.

“Senora! Apa yang kau lakukan?!” tanyanya. Nada kecewa itu kental terasa. Kedua tangannya pun mencengkram kuat pundak Senora. Seakan menyalurkan rasa geramnya.

Ah, pasti kekacauan telah melanda istana. Sehingga Rion yang sejak tadi berada di istana ikut terkejut dan buru-buru mencari Senora sebelum ditemukan pengawal. Yang Rion tahu, tadi pagi Senora sudah berangkat ke rumah di pinggir kota. Menunggu di sana sampai Agares datang menjemput. Siapa yang menyangka gadis ini justru berbalik arah dan melakukan tindakan gila di istana.

“Kau… kau tidak benar-benar melakukannya kan?!” tanya Rion. Senora dapat merasakan tangannya gemetar. Entah karena takut atau sangking marahnya.

“Duke Rion…. Aku ingin melihat taman,” ungkap Senora. Tak ada wajah ketakutan. Ia justru tersenyum dengan syahdunya seperti tak terjadi apa-apa. Sudah Senora katakana bukan? Hatinya sudah lama mati!

Kerut di kening Rion tampak dalam tercetak. Ia mendengar derap langkah dari balik pertigaan yang dilaluinya tadi. Firasatnya mengatakan itu adalah pengawal istana yang sedang mencari keberadaan Senora. Rion pun langsung mensahut tangan Senora dan mengajaknya sedikit berlari. Seperti keinginannya, Rion membawa Senora ke taman. Karena bagaimana pun tempat ini yang paling mudah untuk bersembunyi sementara.

“Senora—“

“Bunga yang indah,” timpal Senora. Tak menghiraukan Rion yang tengah dilanda panik. Ia justru asik menilik bunga bermekaran.

Imperial Flower (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang