36. Variabel Kehancuran

2.9K 270 18
                                    

Barisan bunga warna-warni memenuhi indra penglihatan Senora. Sayap indah kupu-kupu membuat bola mata coklat terang itu mengikuti kemana ia akan hinggap.

Senora menyeringai saat kupu-kupu itu hinggap di salah satu kelopak bunga mawar. “Hei, apa bunga ini tampak indah di mata mu?”

“Ah, pasti begitu. Siapa pun akan tepikat dengan keindahan mawar. Warna merahnya yang menggoda. Wanginya yang memabukkan. Tapi… apa kau tahu? Ini bukan milik mu!”

Tangannya terulur. Dipetiknya tangkai bunga itu sehingga  membuat kupu-kupu terbang kembali. Mata indah itu menyipit. Memandangi kupu-kupu yang terbang kian tinggi.

“Pergilah, tidak ada tempat untuk mu di sini. Jika kau masih hinggap di taman ini. Akan ku usir berkali-kali.”

Sayap kupu-kupu itu kian merendah. Senora dapat memastikan akan hinggap kemana kupu-kupu itu. Sekali lagi ia menghampiri dan mengusirnya. Tapi lagi-lagi kupu-kupu itu hinggap di bunga lain.

“Ah, apa yang ku lakukan?” gumam Senora.

Sejatinya kupu-kupu akan terpikat pada bunga. Mengingatkan Senora akan kebodohannya di masa lalu yang terus menerus bergantung pada seseorang. Sekali menemukan pengalihan, justru dirinya dibuat kecewa sampai ke dasar laut terdalam.

“Hah, apa boleh buat!”

SRAT!

Senora mengayunkan ranting pohon ke arah kupu-kupu itu. Hampir saja ayunan itu mengenai tubuhnya. Kini kupu-kupu itu terbang sangat tinggi. Seolah ia tak akan kembali lagi.

Yah, kadang hidup memang butuh gebrakan untuk berani melangkah. Zona yang tidak nyaman akan segera ditinggalkan. Harusnya begitu, tapi Senora agak lain. Ia tetap tinggal untuk mengambil kesempatan balas dendam. Karena jika tidak begitu, setiap pagi ia akan dihantui oleh bisikan gila dari iblis dalam dirinya.

“Maaf mengganggu waktu mu Nona,” sahut Caroline.

“Ada apa Carol?” ucap Senora. Ia memetik mawar yang telah rusak kelopaknya akibat aksinya tadi.

Carol memandang heran. Akhir-akhir ini ada yang tidak biasa dari Nonanya. Namun ia tak sanggup berkata.

“Ada tamu untuk Nona.”

“Siapa?”

“Nyonya Rosaline.”

Kegiatan tangan Senora terhenti. Ia menyunggingkan senyumnya sebelum berujar, “bawa dia ke ruang tamu.”

“Baik Nona.”

“Sekarang apa lagi?” gumam Senora.

***

Ruang Tamu.

Dominasi warna cream dan ungu melengkapi interior ruang tamu. Susunan perabot dan aksesoris ruangan tertata sesuai fungsi dan kegunaannya. Seorang pelayan baru saja keluar dari ruang itu. Membawa nampan yang telah ia berikan pada dua orang di dalamnya.

Tak hanya diam, Senora memotong bagian demi bagian setangkai bunga mawar yang sempat ia ambil untuk mengulur waktu di taman tadi. Ya, sengaja ia lakukan untuk membuat Rosaline sebal. Ditambah lagi sikap abainya yang justru fokus merangkai bunga untuk ditaruh dalam vas.

Hanya saja, tak seperti biasanya. Rosaline tampak tenang dengan senyum terus mengembang terpaksa.

Hei! ini kan gelagat manusia yang akan menjilat. Baiklah, Senora akan mendengar manusia tidak tahu diri ini. Ia menaruh setangkai bunga ke meja. Memberi kesempatan pada Rosaline untuk berbicara.

“Bicaralah, waktu ku tidak banyak untuk dihabiskan bertatap muka dengan mu.”

“Ba-baiklah. Senora… tolong bantu Ibu mu ini.”

Imperial Flower (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang