xix. bloodlines

795 188 8
                                    

"Dulu seusia kamu, Om masih suka main-main sama kehidupan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Dulu seusia kamu, Om masih suka main-main sama kehidupan."

Suasana meja makan malam itu dilingkari oleh banyak perasaan yang hangat. Ada Papa yang dasarnya memang bersahabat, terus berbincang dengan Zhanghao yang berusaha mengimbangi energinya dengan antusias. Berbagi cerita yang bukan hanya baru bagi Papa tapi juga bagi Serena sendiri, seperti kisah bahwa Zhanghao ternyata bisa memainkan biola dan pernah menjadi salah satu vionilis, pemain biola anak-anak, yang diundang ke istana negara untuk memeriahkan hari kemerdekaan dahulu.

"Keren loh," puji Papanya kagum. "Kamu itu berprestasi, Zhanghao."

"Nggak kok, Om." Zhanghao menggelengkan kepalanya sungkan karena Papanya Serena masih tidak berhenti memujinya.

"Kalo ngomongin masa SMA, Om cuman bisa inget dulu pernah ketahuan manjat pagar dan kejar-kejaran sama pak satpam hampir sepuluh menit." Papanya kembali bercerita. "Kabur sih iya, bisa, tapi keesokan harinya langsung dapat surat panggilan orang tua warna merah dan tiga puluh poin."

Serena yang duduk di sebelah Zhanghao itu hanya fokus memotong-motong daging ayam di piringnya menjadi sekecil mungkin tanpa ada kehendak untuk menyuapnya lagi. Cewek itu sejujurnya kenyang, sangat kenyang, tadi habis memakan setengah kotak piza dan pergi tidur, bangun-bangun malah digesak Mamanya bersiap karena sebentar lagi akan pukul delapan di mana Zhanghao akan datang ke rumah. Tidak terasa beginilah situasinya sekarang, masih mengantuk dan masih kenyang. Nyawa Serena masih terisi setengah.

"Sekarang sekolah-sekolah masih pakai poin?"

"Beberapa masih Om," ujar Zhanghao. "Kalo sekolah saya udah enggak."

"Oh ya?" Papanya menoleh pada Serena yang masih kesusahan mengunyah. "Dulu pas baru masuk masih ada 'kan ya, Ser? Berarti sekarang udah dihapus?"

"Mhmn." Serena menjawab sekenanya karena mulutnya tidak bisa dibuka, langsung diberi Mamanya tatapan tajam, membuat cewek itu lekas meminum gelas air putih agar tidak tersedak.

"Pelan-pelan," kata Mamanya.

Serena balas menatap Mamanya dalam, seolah-olah menyalahkan wanita itu yang sudah membuat peraturan tidak tertulis kalau seorang anak itu tidak boleh terlihat kenyang jikalau kepala keluarga belum memperlihatkannya terlebih dahulu. Ibaratnya, Serena ini harus tetap makan apapun kondisinya. Dia dibangun seperti itu sejak kecil. Katanya sih untuk melatih kesopanan, masuk akal sebenarnya, meskipun pada situasi seperti ini Serena rasanya lebih ingin mengutuk peraturan tersebut.

"Ini yang harganya belasan juta itu 'kan?"

Sudah selesai makan malam dan bubar sementara untuk kegiatan bebersih masing-masing, Zhanghao dan Serena kini duduk santai di ruang tamu membiarkan pencernaan bekerja terlebih dahulu. Awalnya tidak terlalu banyak pembicaraan terjadi, hanya diam, sebelum Zhanghao menyadari ada miniatur bonsai yang berada di dekat televisi.

"Mungkin iya," jawab Serena sekenanya karena dia memang tidak tahu apapun. "Nyokap gue yang milih."

Zhanghao menganggut masih memperhatikan beberapa barang di atas meja. Untuk bonsai, dia pernah melihatnya saat menjarah toko di Singapura mungkin empat atau lima tahun yang lalu. Menurutnya itu adalah sesuatu yang cukup keren untuk dimiliki.

low. zhanghaoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang