[ RAYA - 24 ]

28 5 6
                                    

I'M SORRY GUYSSS LAMA BANGET YA? 😭

Aku kena writersblock lagi untuk kesekian kalinya. Ketika aku maksa untuk nulis itu bikin ceritaku jadi makin amburadul. That's why aku milih rehat 😭 untuk satu, dua, atau tiga orang yang nungguin cerita ini, aku minta maaf kalo lama banget nggak update.

Untuk yang lupa alur, disarankan baca bab sebelumnya ya!

So let's get started! Happy reading!

***

[ RAYA : Fidelity ]
Bab 24
+

Diva sebenarnya butuh istirahat lebih banyak, sebab tubuhnya pagi ini masih terasa lemas. Ia bahkan membutuhkan tenaga ekstra untuk sekadar menegakkan body motornya. Alhasil kali ini ia berangkat sekolah diantar menggunakan mobil.

Melihat Diva yang seperti tak bertenaga, supir Diva membawa Mercedes Benz itu memasuki lingkungan sekolah sampai di depan teras sebuah bangunan.

"Makasih, Pak." Diva keluar setelah sang supir membukakan pintu untuknya.

Ia melangkah menuju teras dan langkahnya berhenti di depan tangga. Hembusan napasnya kian memberat ketika dihantam realita bahwa dirinya harus berjuang lagi menaiki tangga itu hingga ke lantai tiga.

"Nona Diva perlu dibantu?"

Diva menoleh melihat sang supir yang masih berdiri tak jauh dari Diva. Spontan kepalanya menggeleng. Tentu saja menolak. Bantuan apa yang akan diberikan jika bukan menggendongnya hingga lantai tiga. Diva menghembuskan kembali napasnya dengan kasar. "Diva kuat kok, Pak. Cuma sampai lantai tiga doang."

Selanjutnya dengan tenaga yang tersisa, Diva mulai menapaki satu demi satu anak tangga yang entah berapa jumlahnya. Sementara dari tempatnya, sang supir memandang anak dari majikannya dengan tatapan khawatir.

Entah berapa menit Diva habiskan untuk sampai di kelas. Ia melangkah lebih lambat dari biasanya. Mulai merasa bahwa hari ini tidak ada gairah dalam dirinya untuk belajar.

Seruan dari teman-temannya terutama jeritan melengking dari Raka juga terdengar bak angin lewat. Diva duduk di tempatnya dengan gontai.

"Div, lo beneran sakit?" tanya Imel khawatir melihat betapa pucatnya wajah Diva.

"Harusnya jangan maksa masuk kalau masih sakit," timpal Lia di tempatnya.

Kini hampir seluruh teman kelasnya mulai mengerubungi tempat duduk Diva. Melihat sosok yang selama beberapa hari menghilang dari dunia.

"Lo pucet banget, sumpah," ujar Raka memandang Diva serius, "ke UKS aja, yuk."

"Iya, Div. Nggak usah mikirin absensi, nanti kita izinin ke guru pengajar," timpal Septa.

"Gue baik kok. Ini udah lebih baik dari sebelumnya malah," jawab Diva yang tentu saja berbohong. Batinnya menjerit kata lemas.

"Kalo beneran sakit gini harusnya langsung izin ke wali kelas aja, Div. Sayang banget absensi lo beberapa hari yang lalu ditulis A bukan S."

Mendengar ucapan Vero lantas Raka mendongak, memperhatikan sekitar di mana dirinya berada diantara murid yang mengerubungi Diva. "Sekretaris mana sekretaris?!" ujarnya tolah-toleh, "tolong nanti bilang ke guru pengajar sama wali kelas. Biar dilurusin!"

Diva hanya diam bak patung tetapi dengan fisik lemas dan tidak bergairah. Pikirannya terasa kosong. Suara teman-temannya seperti suara radio rusak, sebentar jelas sebentar kabur.

Yang baru Diva sadari adalah kini kelas menjadi hening, hanya terdengar suara guru pengajar yang mulai mengabsen nama murid. Ketika nama Aya di sebut, barulah Diva sadar bahwa gadis bule itu tidak ada di tempat duduknya. Diva menoleh pada Lia dan Imel.

RAYA : Fidelity Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang